
Pantau - Tepat hari ini, pada 27 tahun lalu. Indonesia pernah mengalami kejadian kelam dalam dunia perpolitikan, yakni Kerusuhan 27 Juli 1996 atau yang dikenal dengan Tragedi Kudatuli.
Kerusuhan yang terjadi pada 27 Juli 1996 ini bermula dari dualisme kepemimpinan di tubuh Partai Demokrasi Indonesia (PDI), menghadapkan kubu Megawati Soekarnoputri dengan kubu Soerjadi.
Jauh sebelum Kudatuli terjadi, Megawati bergabung dengan PDI pada 1987. Saat itu, partai tersebut dipimpin oleh Soerjadi.
Kehadiran Megawati berhasil mendongkrak elektabilitas partai banteng. Popularitas Megawati yang terus melesat menjadi ancaman bagi Soerjadi dan koleganya.
Pada 23 Juli 1993, Soerjadi kembali terpilih sebagai Ketua Umum PDI. Namun, Soerjadi diterpa isu penculikan kader.
Atas kasus tersebut, PDI menggelar Kongres Luar Biasa (KLB) di Surabaya yang mengukuhkan Megawati sebagai Ketua Umum PDI pada 22 Desember 1993.
Namun, baru 3 tahun kepemimpinan Mega berjalan, PDI menggelar Kongres tandingan di Medan untuk menetapkan Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI masa jabatan 1996-1998. Hal inilah yang melahirkan dualisme kepemimpinan PDI antara Megawati dengan Soerjadi.
Sementara, pemerintahan Presiden Soeharto saat itu hanya mengakui DPP PDI hasil Kongres Medan pimpinan Soerjadi. Praktis, kepemimpinan Megawati tidak diakui.
Akibat dinamika itu, gesekan antara kubu Megawati dan kubu Soerjadi pun terus membesar. Puncaknya, kerusuhan pecah pada 27 Juli 1996 dengan penyerangan ke Kantor DPP PDI di kawasan Menteng, Jakpus.
Massa yang terus membengkak jumlahnya bahkan membakar bus-bus bus kota hingga sejumlah gedung di wilayah Jalan Salemba.
Berdasarkan catatan Komnas HAM, sedikitnya 5 orang tewas, 149 luka, dan 23 orang dilaporkan hilang akibat tragedi tersebut.
- Penulis :
- Aditya Andreas
- Editor :
- Aditya Andreas