
Pantau - Spekulasi soal siapa kandidat calon wakil presiden (Cawapres) Anies Baswedan di Pilpres 2024 mulai ramai dibahas. Sejak dideklarasikan Partai NasDem pada Senin 3 Oktober 2022, kemudian diikuti oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat.
Selanjutnya, ketiga partai ini melakukan penandatanganan piagam koalisi di Sekretariat Perubahan, Jalan Brawijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (24/3/2023) dengan nama "Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP)". Namun, koalisi yang sudah dibentuk ini tak kunjung mengumumkan nama cawapres bagi Anies.
Sebelumnya, tiga nama mengemuka dalam koalisi ini, ada nama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang diusulkan oleh Demokrat, Ahmad Heryawan direkomendasikan oleh PKS, dan Khofifah Indar Parawansa yang didorong oleh NasDem membuat suara KPP terbelah.
Perdebatan soal nama cawapres ini membuat internal koalisi terfragmentasi. Terjadi gontok-gontokan antar partai disebabkan masing-masing memiliki pandangan dan kepentingan yang berbeda. Menyikapi hal itu, Anies pun turun tangan dengan membentuk tim delapan pada 15 Maret 2023.
Tim yang terdiri dari representasi anggota partai koalisi plus dua orang yang mewakili Anies itu bertugas mencari dan memberi masukan terkait dengan nama cawapres yang dianggap potensial mendampingi Anies di Pilpres 2024.
Kedelapan nama anggota tim tersebut adalah; Sugeng Suparwoto,dan Willy Aditya (NasDem), Sohibul Iman dan Al-Muzammil Yusuf (PKS), Teuku Riefky Harsya dan Iftitah Sulaiman Suryanegara (Demokrat) dan Sudirman Said dan Dadang Dirgantara yang mewakili Anies Baswedan.
Dalam hal penentuan nama cawapres, tim ini bekerja berdasarkan 5 kriteria yang sudah disepakati, diantaranya; punya kontribusi didalam kemenangan, membantu mensolidkan koalisi, bisa membuat kerja sama di pemerintahaan lebih efektif, memiliki visi yang sama sehingga dapat bekerja sama dengan arah dan agenda yang sama, dan berpotensi menjadi dwi tunggal atau punya chemistry yang baik.
Terlepas dari lima kriteria diatas, penentuan nama cawapres bagi Anies juga ditentukan oleh preferensi elit yang secara informal memiliki pengaruh yang signifikan. Preferensi elit inilah yang membuat tarik ulur pengumuman nama cawapres Anies tak kunjung diumumkan.
Diantara beberapa nama yang santer disebutkan, mulai dari Gubernur Jawa Timur (Jatim) Khofifah Indar Parawansa, Mantan Gubernur Jawa Barat (Ahmad Heryawan), Ketum Partai Demokrat (Agus Harimurti Yudhoyono) atau AHY dan Yenny Wahid (Tokoh Perempuan NU), nama AHY lah yang dilihat paling mendekati kriteria. Elektabilitas putra sulung Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu juga terbilang cukup kompetitif dan tertinggi dibandingkan nama-nama yang diajukan oleh Koalisi Perubahan.
Dalam survei teranyar kandidat cawapres yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI), AHY masuk top four, tiga tingkat dibawah Erick Thohir, Ridwan Kamil dan Mahfud MD.
Survei yang digelar pada periode 1-8 Juli 2023 dengan 1.242 responden ini menempatkan AHY diposisi keempat dengan elektabilitas mencapai 9,5 persen. Itu artinya, beberapa nama yang diajukan pada tim delapan, AHY lah yang paling mungkin dicawapreskan.
Secara formal, AHY yang paling berpeluang untuk didorong kalau kita mengacu pada beberapa nama yang masuk dalam nominasi bakal cawapres. Namun, sekali lagi, preferensi publik seringkali bertolak belakang dengan preferensi elit.
Dalam terminologi ilmu politik, proses penentuan capres, termasuk cawapres, ditentukan oleh dua pendekatan, yakni pendekatan yang sifatnya demokratis dan non demokratis (Serra, 2006).
Pendekatan nondemokratis biasanya ditentukan melalui negosiasi pintu tertutup atau dikenal dengan istilah smoke-filled rooms, dimana, keputusan strategis politik hanya melibatkan segelintir elit yang punya kuasa dan monopoli dalam menentukan calon tanpa melibatkan ruang partisipasi dari kader atau konstituen partai secara luas. Berbeda dengan pendekatan demokratis yang melibatkan publik secara luas, seperti yang kita kenal saat ini, survei.
Dalam hal preferensi elit, nama AHY dikabarkan tidak mendapat dukungan di internal partai koalisi. NasDem bersikeras menolak nama AHY dengan pertimbangan Anies membutuhkan figur yang memiliki afiliasi dengan warga nahdliyyin atau NU.
Terlepas apakah faktor nahdliyyin ini yang menjadi pertimbangan NasDem atau ada faktor lain yang membuat ketegangan di internal koalisi, terutama NasDem dan Demokrat, wallahualam! Tapi yang pasti, AHY belum diterima sepenuhnya oleh NasDem sebagai cawapres Anies.
NasDem justru dekati Yenny Wahid, putri Presiden ke-4 RI, Gusdur. Nama Yenny muncul sebagai alternatif ditengah upaya NasDem yang gagal meyakinkan Khofifah Indar Parawansa. Gubernur Jawa Timur ini menolak tawaran partai besutan Surya Paloh itu dan memilih fokus menjadi Jatim satu di pilkada serentak yang bakal berlangsung pada 27 November 2023.
Ditengah perdebatan itu, muncul nama mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo sebagai kandidat alternatif. Mantan KASAD itu dinilai cukup potensial mendampingi Anies.
Selain berlatarbelakang militer, Gatot dianggap punya pengaruh besar di basis-basis pemilih muslim, termasuk di Jawa Timur yang merupakan basis warga nahdliyyin.
Selain itu, mantan Pangkostrad di era pemerintahan SBY itu dianggap sebagai figur alternatif yang bisa diterima di internal Koalisi Perubahan. Dia dekat dengan poros Cikeas dan SBY, juga tak memiliki problem dengan poros Gondangdia, Surya Paloh dan NasDem. Bahkan di internal PKS pun tak mempersoalkan nama Gatot.
Kalau duet Anies-Gatot berjalan mulus, pasangan ini diprediksi punya peluang besar mengingat kombinasi sipil-militer cukup ideal di pilpres mendatang.
Meskipun nama Gatot sudah sering disebut, tak lantas membuat mantan Pangdam Brawijaya itu bisa dengan mudah dipilih mendampingi Anies mengingat dinamika dibelakang layar sangat unpredictable. Negosiasi dan kompromi elit bisa saja merubah konstelasi politik.
Selama belum diumumkan secara resmi, segala kemungkinan masih bisa terjadi. Pengalaman di Pilpres 2019, nama KH. Ma'aruf Amin dan Sandiaga Uno bisa tiba-tiba masuk dalam radar dan menjadi cawapres di menit-menit terakhir jelang pendaftaran. Padahal dua nama ini sebelumnya tidak masuk dalam radar cawapres. Di kubu Jokowi justru yang menguat adalah nama Mahfud MD, tapi mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini justru hilang di last minute.
oleh: AB Solissa (Direktur Executive Partner Politik Indonesia)
Selanjutnya, ketiga partai ini melakukan penandatanganan piagam koalisi di Sekretariat Perubahan, Jalan Brawijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (24/3/2023) dengan nama "Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP)". Namun, koalisi yang sudah dibentuk ini tak kunjung mengumumkan nama cawapres bagi Anies.
Sebelumnya, tiga nama mengemuka dalam koalisi ini, ada nama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang diusulkan oleh Demokrat, Ahmad Heryawan direkomendasikan oleh PKS, dan Khofifah Indar Parawansa yang didorong oleh NasDem membuat suara KPP terbelah.
Perdebatan soal nama cawapres ini membuat internal koalisi terfragmentasi. Terjadi gontok-gontokan antar partai disebabkan masing-masing memiliki pandangan dan kepentingan yang berbeda. Menyikapi hal itu, Anies pun turun tangan dengan membentuk tim delapan pada 15 Maret 2023.
Tim yang terdiri dari representasi anggota partai koalisi plus dua orang yang mewakili Anies itu bertugas mencari dan memberi masukan terkait dengan nama cawapres yang dianggap potensial mendampingi Anies di Pilpres 2024.
Kedelapan nama anggota tim tersebut adalah; Sugeng Suparwoto,dan Willy Aditya (NasDem), Sohibul Iman dan Al-Muzammil Yusuf (PKS), Teuku Riefky Harsya dan Iftitah Sulaiman Suryanegara (Demokrat) dan Sudirman Said dan Dadang Dirgantara yang mewakili Anies Baswedan.
Dalam hal penentuan nama cawapres, tim ini bekerja berdasarkan 5 kriteria yang sudah disepakati, diantaranya; punya kontribusi didalam kemenangan, membantu mensolidkan koalisi, bisa membuat kerja sama di pemerintahaan lebih efektif, memiliki visi yang sama sehingga dapat bekerja sama dengan arah dan agenda yang sama, dan berpotensi menjadi dwi tunggal atau punya chemistry yang baik.
Terlepas dari lima kriteria diatas, penentuan nama cawapres bagi Anies juga ditentukan oleh preferensi elit yang secara informal memiliki pengaruh yang signifikan. Preferensi elit inilah yang membuat tarik ulur pengumuman nama cawapres Anies tak kunjung diumumkan.
Diantara beberapa nama yang santer disebutkan, mulai dari Gubernur Jawa Timur (Jatim) Khofifah Indar Parawansa, Mantan Gubernur Jawa Barat (Ahmad Heryawan), Ketum Partai Demokrat (Agus Harimurti Yudhoyono) atau AHY dan Yenny Wahid (Tokoh Perempuan NU), nama AHY lah yang dilihat paling mendekati kriteria. Elektabilitas putra sulung Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu juga terbilang cukup kompetitif dan tertinggi dibandingkan nama-nama yang diajukan oleh Koalisi Perubahan.
Dalam survei teranyar kandidat cawapres yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI), AHY masuk top four, tiga tingkat dibawah Erick Thohir, Ridwan Kamil dan Mahfud MD.
Survei yang digelar pada periode 1-8 Juli 2023 dengan 1.242 responden ini menempatkan AHY diposisi keempat dengan elektabilitas mencapai 9,5 persen. Itu artinya, beberapa nama yang diajukan pada tim delapan, AHY lah yang paling mungkin dicawapreskan.
Preferensi Elit
Secara formal, AHY yang paling berpeluang untuk didorong kalau kita mengacu pada beberapa nama yang masuk dalam nominasi bakal cawapres. Namun, sekali lagi, preferensi publik seringkali bertolak belakang dengan preferensi elit.
Dalam terminologi ilmu politik, proses penentuan capres, termasuk cawapres, ditentukan oleh dua pendekatan, yakni pendekatan yang sifatnya demokratis dan non demokratis (Serra, 2006).
Pendekatan nondemokratis biasanya ditentukan melalui negosiasi pintu tertutup atau dikenal dengan istilah smoke-filled rooms, dimana, keputusan strategis politik hanya melibatkan segelintir elit yang punya kuasa dan monopoli dalam menentukan calon tanpa melibatkan ruang partisipasi dari kader atau konstituen partai secara luas. Berbeda dengan pendekatan demokratis yang melibatkan publik secara luas, seperti yang kita kenal saat ini, survei.
Dalam hal preferensi elit, nama AHY dikabarkan tidak mendapat dukungan di internal partai koalisi. NasDem bersikeras menolak nama AHY dengan pertimbangan Anies membutuhkan figur yang memiliki afiliasi dengan warga nahdliyyin atau NU.
Terlepas apakah faktor nahdliyyin ini yang menjadi pertimbangan NasDem atau ada faktor lain yang membuat ketegangan di internal koalisi, terutama NasDem dan Demokrat, wallahualam! Tapi yang pasti, AHY belum diterima sepenuhnya oleh NasDem sebagai cawapres Anies.
NasDem justru dekati Yenny Wahid, putri Presiden ke-4 RI, Gusdur. Nama Yenny muncul sebagai alternatif ditengah upaya NasDem yang gagal meyakinkan Khofifah Indar Parawansa. Gubernur Jawa Timur ini menolak tawaran partai besutan Surya Paloh itu dan memilih fokus menjadi Jatim satu di pilkada serentak yang bakal berlangsung pada 27 November 2023.
Gatot Nurmantyo
Ditengah perdebatan itu, muncul nama mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo sebagai kandidat alternatif. Mantan KASAD itu dinilai cukup potensial mendampingi Anies.
Selain berlatarbelakang militer, Gatot dianggap punya pengaruh besar di basis-basis pemilih muslim, termasuk di Jawa Timur yang merupakan basis warga nahdliyyin.
Selain itu, mantan Pangkostrad di era pemerintahan SBY itu dianggap sebagai figur alternatif yang bisa diterima di internal Koalisi Perubahan. Dia dekat dengan poros Cikeas dan SBY, juga tak memiliki problem dengan poros Gondangdia, Surya Paloh dan NasDem. Bahkan di internal PKS pun tak mempersoalkan nama Gatot.
Kalau duet Anies-Gatot berjalan mulus, pasangan ini diprediksi punya peluang besar mengingat kombinasi sipil-militer cukup ideal di pilpres mendatang.
Meskipun nama Gatot sudah sering disebut, tak lantas membuat mantan Pangdam Brawijaya itu bisa dengan mudah dipilih mendampingi Anies mengingat dinamika dibelakang layar sangat unpredictable. Negosiasi dan kompromi elit bisa saja merubah konstelasi politik.
Selama belum diumumkan secara resmi, segala kemungkinan masih bisa terjadi. Pengalaman di Pilpres 2019, nama KH. Ma'aruf Amin dan Sandiaga Uno bisa tiba-tiba masuk dalam radar dan menjadi cawapres di menit-menit terakhir jelang pendaftaran. Padahal dua nama ini sebelumnya tidak masuk dalam radar cawapres. Di kubu Jokowi justru yang menguat adalah nama Mahfud MD, tapi mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini justru hilang di last minute.
oleh: AB Solissa (Direktur Executive Partner Politik Indonesia)
- Penulis :
- khaliedmalvino
- Editor :
- admin