Pantau – Mungkin sudah mulai sering terdengar di telinga terkait istilah gastronomi, berasal dari kata gastross yang artinya perut dan nomos yang artinya aturan/hukum.
Dalam hal ini gastronomi diartikan sebagai ilmu yang memelajari tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan makanan/minuman (segala sesuatu yang masuk ke dalam perut).
Semakin berkembangnya zaman, makanan bukan lagi menjadi kebutuhan fisiologis untuk mendapatkan rasa kenyang, melainkan menjadi kebutuhan akan pengalaman baru dan kesenangan.
Sampai pada kebutuhan tersebut, fenomena makanan dan minuman menjadi daya tarik wisatawan berkunjung ke suatu daerah memunculkan istilah wisata minat khusus yang disebut dengan wisata gastronomi.
Belum banyaknya peneliti yang berfokus pada kajian gastronomi, dosen muda dan peneliti Politeknik Sahid, Asst. Prof. Dr. Suci Sandi Wachyuni, S.TP., MM mendalaminya dalam studi pada penelitian disertasinya di prodi kajian pariwisata Universitas Gadjah Mada (UGM) dan beberapa penelitian lainnya yang dipublikasikan pada jurnal ilmiah baik nasional maupun internasional.
Menurutnya, gastronomi menjadi sangat perlu untuk dikaji, karena makanan dan minuman tidak terlepas dari kehidupan kita sehari-hari sebagai individu dan bergesernya persepsi masyarakat dunia dari sekedar kebutuhan fisiologis menjadi kebutuhan psikologis akan pengalaman dan rasa senang (leisures).
“Wisata gastronomi sangat pas dijadikan alternatif wisata pedesaan karena murah, mudah, dan sederhana. Hampir setiap daerah pasti memiliki kuliner lokal yang unik yang dapat menjadi daya tarik dan memberikan pengalaman yang baru kepada wisatawan,” ujar Suci dalam keterangan tertulisnya seperti diterima Pantau.com, Sabtu (25/3/2023).
Ia menambahkan, wisata Gastronomi secara tidak langsung mendukung pariwisata berkelanjutan, karena dengan mengembangkan potensi gastronomi seperti makanan dan minuman lokal daerah.
“Sekaligus juga dapat melestarikan warisan budaya. Selain itu, dari sisi ekonomi dapat meningkatkan rantai pasok bahan baku lokal serta meningkatkan pendapatan masyarakat daerah melalui UMKM lokal,” tambahnya.
Berdasarkan hasil riset dalam penelitiannya, Suci menyebut bahwa teridentifikasi 3 tipe wisatawan yang melakukan wisata kuliner, yaitu Gastronomic Tourist (GT), Culinary Tourist (CT), dan Non-Culinary Tourist (NCT).
“GT adalah wisatawan yang menjadikan makanan dan minuman sebagai motif utama berwisata, sementara CT adalah wisatawan yang menjadikan makan dan minum di destinasi sebagai bagian dari gaya hidup/ sosialisasi, dan NCT adalah wisatawan yang makan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis selama berwisata. Dan ternyata, dari 3 tipe tersebut 74.7% nya adalah Gastronomic Tourist,” terangnya.
“Dengan mayoritas segmen pasar di lokus kajian adalah gastronomic tourist, menggambarkan pasar domestik ‘gajah’ untuk wisata gastronomi. Hal ini tentunya dapat menjadi highlights bersama seluruh pemangku kepentingan dalam merumuskan strategi yang tepat untuk mengembangkan wisata gastronomi di Indonesia,” sambungnya.
Suci meyakini dengan peran seluruh stakeholder (pentahelix) yaitu pemerintah, akademisi, bisnis, komunitas, dan media, wisata gastronomi dapat menjadi alternatif wisata daerah berbasis komunitas dan pariwisata berkelanjutan yang akan memberikan dampak langsung ke masyarakat di destinasi.
“Gastronomi Indonesia sangat variatif, bahkan jumlah yang tercatat lebih dari 3.200 jenis kuliner lokal,” tandasnya.