
Pantau – Mendiang Presiden Soeharto ternyata pernah geram dengan penyelewengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Presiden yang berkuasa 32 tahun itu meminta para pelaku untuk dikirim ke penjara Nusakambangan waktu itu.
Pengakuan mengejutkan itu datang dari Fuad Bawazier, mantan Menteri Keuangan (Menkeu) era Soeharto, pada Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Panitia Khusus (Pansus) BLBI Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Jakarta, Selasa (20/6/2023).
Sebelumnya, Pansus BLBI DPD mengundang Fuad Bawazier bersama bos Bank Central Asia (BCA) Budi Hartono dalam RDPU tersebut. Namun, Budi Hartono mengirimkan surat yang menerangkan dirinya sedang berada di luar negeri dan mengaku tidak tahu menahu soal BLBI.
Dalam rilis pers Pansus BLBI DPD, Fuad Bawazier mengaku agak tersentak mendapat undangan dari Pansus BLBI. Sebab hal itu adalah persoalan lama yang ia geluti langsung saat itu namun tak kunjung selesai hingga hari ini.
“Jujur saya capek melihat kasus ini kembali karena dari dahulu belum tuntas-tuntas,” ujar Fuad yang menjabat Menkeu di saat-saat krusial, yakni pada 16 Maret hingga 21 Mei 1998 saat BLBI dikucurkan untuk menalangi bank-bank yang terkena rush masyarakat.
Fuad juga pernah dipanggil oleh komisi IX pada tanggal 9 Februari 2000. “Pada intinya dalam rapat tersebut saya menyampaikan bahwa jika tidak ada keseriusan dalam menangani, kasus ini akan kandas di tengah jalan karena banyak faktor seperti politik, hukum, dan seterunya,” papar dia.
Kepada Pansus BLBI DPD, Fuad mengaku bahwa dirinya pernah menulis surat kepada Presiden Soeharto untuk meminta tindak lanjut laporan dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Dari Rp109 triliun penyaluran tersebut, hampir 50 persen diberikan kepada dua bank, yakni Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) dan Bank Danamon.
Dari jumlah itu, BDNI mendapatkan pinjaman sebanyak Rp27,6 triliun dan Bank Danamon sebanyak Rp25,8 triliun. Namun berdasarkan laporan dari Tim Audit Internasional dilaporkan aset setelah pemeriksaan BDNI hanya Rp5,9 Triliun dan Bank Danamon hanya Rp13,3 Triliun.
“Jadi pada saat itu saja, hanya untuk 2 bank tersebut pemerintah harus menanggung kerugian sebesar Rp85 Triliun dari jumlah Rp48,2 Triliun ditambah Rp37,3 Triliun,” papar Fuad Bawazier.
Menurut Fuad, BLBI sebetulnya terang-terangan membuat perbuatan criminal. Sebab, bank-bank pada saat itu melakukan penyimpangan.
Misalnya, Bank Danamon dan BDNI yang menggunakan skema ambil kredit terhadap banknya sendiri dengan memanfaatkan karyawan tukang parkir dan sebagainya. Alhasil, dua bank tersebut bersaing dalam kejahatan.
“Atas kejadian itu harusnya BI mengambil tindakan namun ada pertimbangan besar karena atas dasar takut turunnya kepercayaan masyarakat,” tuturnya.
Sebab, sambung dia, berdasarkan pertimbangan tersebut, BI mengambil tindakan untuk menalangi bank-bank itu. “Kalau melihat tanggapan Presiden Soeharto pada saat itu sangat marah melihat kasus BLBI ini. Sampai merespons orang itu baiknya dikirim ke Nusakambangan saja,” ungkap Fuad.
Dalam paparannya Fuad juga menjelaskan mengenai obligasi rekap (OR) BLBI, yakni surat yang menyatakan pemerintah berhutang kepada sejumlah bank, yang merupakan akal-akalan IMF agar neraca bank tampak positif.
Salah satunya, Fuad menyebut, pemerintah memberi obligasi rekap sebesar Rp67 triliun. Dengan OR BLBI ini pemerintah harus membayar bunga sebesar 10 persen setiap tahun hingga hari ini.
“Obligasi rekap itu sebenarnya bunganya harus dihapuskan, karena bank ini sudah sakit dan ditolong pemerintah. Jadi menurut saya dihapuskan saja karena sudah cukup,” timpal Fuad Bawazier.
Sementara Pansus BLBI DPD, Bustami Zainudin, dalam pernyataan usai RDPU, mengatakan sangat menghargai kedatangan Fuad Bawazier. Itu pertanda bahwa Fuad menghargai upaya DPD untuk membuat seterang-terangnya masalah BLBI dan Obligasi Rekap BLBI.
Mengenai Rp110 triliun BLBI, menurut Bustami, hari ini sudah diurus oleh Satgas BLBI. Namun dari keterangan Fuad Bawazier sebenarnya ada yang masih bisa diperdalam, yakni apakah kelakuan dua bank nakal yakni BDNI dan Danamon juga dilakukan oleh 54 bank lainnya.
“Pansus BLBI ingin menggali lebih dalam, dan terutama apakah hal tersebut juga berlaku pada bank-bank lainnya yang dalam surat tersebut terdapat 54 bank,” kata Bustami.
Pansus BLBI DPD juga dinilai perlu menggali mengenai kebijakan obligasi rekap yang diterima oleh BCA pada 2003. Karena itu, Pansus juga mengundang Budi Hartono selaku pemilik BCA setelah pemerintah menjualnya pada tahun tersebut.
“BCA dijual Rp5 triliun untuk 50 persen saham padahal pegang obligasi rekap yang nilainya jauh di atas itu. Termasuk juga utang Salim di BCA yang kemudian jadi utang pemerintah. Inilah pentingnya Pak Fuad dan juga Budi Hartono untuk kami undang, agar clear semuanya,” papar Bustami.
Namun demikian, Bustami menyayangkan saat Fuad Bawazier memastikan hadir, Budi Hartono justru menyatakan tidak hadir dengan alasan sedang tidak berada di Indonesia dan mengaku tidak tahu menahu mengenai BLBI.
“Pak Budi Hartono semestinya menghormati lembaga negara, kita baik-baik saja mau menyelesaikan masalah rakyat Indonesia, BLBI dan obligasi rekap ini harus clear dan Pak Budi musti support kalau mengaku nasionalis,” imbuh Bustami.
Pengakuan mengejutkan itu datang dari Fuad Bawazier, mantan Menteri Keuangan (Menkeu) era Soeharto, pada Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Panitia Khusus (Pansus) BLBI Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Jakarta, Selasa (20/6/2023).
Sebelumnya, Pansus BLBI DPD mengundang Fuad Bawazier bersama bos Bank Central Asia (BCA) Budi Hartono dalam RDPU tersebut. Namun, Budi Hartono mengirimkan surat yang menerangkan dirinya sedang berada di luar negeri dan mengaku tidak tahu menahu soal BLBI.
Dalam rilis pers Pansus BLBI DPD, Fuad Bawazier mengaku agak tersentak mendapat undangan dari Pansus BLBI. Sebab hal itu adalah persoalan lama yang ia geluti langsung saat itu namun tak kunjung selesai hingga hari ini.
“Jujur saya capek melihat kasus ini kembali karena dari dahulu belum tuntas-tuntas,” ujar Fuad yang menjabat Menkeu di saat-saat krusial, yakni pada 16 Maret hingga 21 Mei 1998 saat BLBI dikucurkan untuk menalangi bank-bank yang terkena rush masyarakat.
Fuad juga pernah dipanggil oleh komisi IX pada tanggal 9 Februari 2000. “Pada intinya dalam rapat tersebut saya menyampaikan bahwa jika tidak ada keseriusan dalam menangani, kasus ini akan kandas di tengah jalan karena banyak faktor seperti politik, hukum, dan seterunya,” papar dia.
Kepada Pansus BLBI DPD, Fuad mengaku bahwa dirinya pernah menulis surat kepada Presiden Soeharto untuk meminta tindak lanjut laporan dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Dari Rp109 triliun penyaluran tersebut, hampir 50 persen diberikan kepada dua bank, yakni Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) dan Bank Danamon.
Dari jumlah itu, BDNI mendapatkan pinjaman sebanyak Rp27,6 triliun dan Bank Danamon sebanyak Rp25,8 triliun. Namun berdasarkan laporan dari Tim Audit Internasional dilaporkan aset setelah pemeriksaan BDNI hanya Rp5,9 Triliun dan Bank Danamon hanya Rp13,3 Triliun.
“Jadi pada saat itu saja, hanya untuk 2 bank tersebut pemerintah harus menanggung kerugian sebesar Rp85 Triliun dari jumlah Rp48,2 Triliun ditambah Rp37,3 Triliun,” papar Fuad Bawazier.
Menurut Fuad, BLBI sebetulnya terang-terangan membuat perbuatan criminal. Sebab, bank-bank pada saat itu melakukan penyimpangan.
Misalnya, Bank Danamon dan BDNI yang menggunakan skema ambil kredit terhadap banknya sendiri dengan memanfaatkan karyawan tukang parkir dan sebagainya. Alhasil, dua bank tersebut bersaing dalam kejahatan.
“Atas kejadian itu harusnya BI mengambil tindakan namun ada pertimbangan besar karena atas dasar takut turunnya kepercayaan masyarakat,” tuturnya.
Sebab, sambung dia, berdasarkan pertimbangan tersebut, BI mengambil tindakan untuk menalangi bank-bank itu. “Kalau melihat tanggapan Presiden Soeharto pada saat itu sangat marah melihat kasus BLBI ini. Sampai merespons orang itu baiknya dikirim ke Nusakambangan saja,” ungkap Fuad.
Dalam paparannya Fuad juga menjelaskan mengenai obligasi rekap (OR) BLBI, yakni surat yang menyatakan pemerintah berhutang kepada sejumlah bank, yang merupakan akal-akalan IMF agar neraca bank tampak positif.
Salah satunya, Fuad menyebut, pemerintah memberi obligasi rekap sebesar Rp67 triliun. Dengan OR BLBI ini pemerintah harus membayar bunga sebesar 10 persen setiap tahun hingga hari ini.
“Obligasi rekap itu sebenarnya bunganya harus dihapuskan, karena bank ini sudah sakit dan ditolong pemerintah. Jadi menurut saya dihapuskan saja karena sudah cukup,” timpal Fuad Bawazier.
Sementara Pansus BLBI DPD, Bustami Zainudin, dalam pernyataan usai RDPU, mengatakan sangat menghargai kedatangan Fuad Bawazier. Itu pertanda bahwa Fuad menghargai upaya DPD untuk membuat seterang-terangnya masalah BLBI dan Obligasi Rekap BLBI.
Mengenai Rp110 triliun BLBI, menurut Bustami, hari ini sudah diurus oleh Satgas BLBI. Namun dari keterangan Fuad Bawazier sebenarnya ada yang masih bisa diperdalam, yakni apakah kelakuan dua bank nakal yakni BDNI dan Danamon juga dilakukan oleh 54 bank lainnya.
“Pansus BLBI ingin menggali lebih dalam, dan terutama apakah hal tersebut juga berlaku pada bank-bank lainnya yang dalam surat tersebut terdapat 54 bank,” kata Bustami.
Pansus BLBI DPD juga dinilai perlu menggali mengenai kebijakan obligasi rekap yang diterima oleh BCA pada 2003. Karena itu, Pansus juga mengundang Budi Hartono selaku pemilik BCA setelah pemerintah menjualnya pada tahun tersebut.
“BCA dijual Rp5 triliun untuk 50 persen saham padahal pegang obligasi rekap yang nilainya jauh di atas itu. Termasuk juga utang Salim di BCA yang kemudian jadi utang pemerintah. Inilah pentingnya Pak Fuad dan juga Budi Hartono untuk kami undang, agar clear semuanya,” papar Bustami.
Namun demikian, Bustami menyayangkan saat Fuad Bawazier memastikan hadir, Budi Hartono justru menyatakan tidak hadir dengan alasan sedang tidak berada di Indonesia dan mengaku tidak tahu menahu mengenai BLBI.
“Pak Budi Hartono semestinya menghormati lembaga negara, kita baik-baik saja mau menyelesaikan masalah rakyat Indonesia, BLBI dan obligasi rekap ini harus clear dan Pak Budi musti support kalau mengaku nasionalis,” imbuh Bustami.
- Penulis :
- Ahmad Munjin