
Pantau – PT Kaltim Prima Coal (KPC), salah satu anak usaha PT Bumi Resources Tbk, telah memenuhi standar keamanan operasi penambangan jarak jauh. Meski begitu, dalam prosesnya, perseroan tak menampik adanya potensi dampak buruk terhadap hak asasi manusia (HAM) bagi masyarakat adat di sekitar lokasi tambang.
“Potensi dampak buruk tersebut, termasuk saat perseroan melakukan relokasi suku Dayak Basap di Dusun Segading terutama menyangkuat hak atas kesehatan dan keselamatan,” kata Ashok Mitra, CEO KPC dalam Human Rights Report 2022 PT BUMI Resources Tbk bertajuk ‘Scale Up Respect for Human Rights from a Global Energy Producer’ di Jakarta, sebagaimana dikutip Rabu (21/6/2023).
Program relokasi Segading merupakan hasil dari Analisis KPC Mengenai Dampak Lingkungan 2010. “Analisis ini berusaha untuk memitigasi dampak buruk kegiatan pertambangan terhadap suku Dayak Basap yang tinggal di Dusun Segading, Desa Keraitan,” ujarnya.
Suku Dayak Basap Segading berlokasi di tengah proyek PIT (lokasi pertambangan terbuka) A, PIT B, dan PIT C milik KPC. Jaraknya, kurang dari 800 meter ke proyek PIT B.
“Hingga tahun 2021, sebanyak 55 kepala keluarga Dayak Basap telah resmi menyetujui untuk pindah ke tempat relokasi Segading,” ucapnya.
Lebih jauh Ashok menegaskan, kegiatan relokasi KPC konsisten dan selaras dengan Global Compact Principles and International Finance Corporation (IFC) Performance Standards on Indigenous People. Prinsip-prinsip tersebut menekankan pada sejumlah aspek.
Pertama, prinsip free, prior and informed consent (FPIC). “Prinsip FPIC ini menunjukkan bahwa suku Dayak Basap harus memberikan persetujuan mereka untuk dipindahkan atau dipindahkan secara sukarela dan tanpa paksaan, intimidasi atau manipulasi,” ucapnya.
Selain itu, sambung dia, persetujuan tersebut diupayakan pada tahap awal pembangunan di mana masyarakat adat memberikan persetujuan dan menerima informasi tentang perkembangan pembangunan dengan mudah diakses, jelas, akurat, dan transparan.
“Proses relokasi oleh KPC yang memakan waktu dua belas tahun menggambarkan proses panjang negosiasi dan diskusi dengan pihak suku Dayak Basap,” ungkap Ashok.
Program relokasi itu sebenarnya sudah dimulai sejak 2005 ketika Ndan Imang melakukan Asesmen Sosial terhadap KPC. Itu kemudian disusul dengan permintaan resmi dari masyarakat adat terkait relokasi Segading.
“Proses mendapatkan persetujuan dari suku Dayak Basap secara damai tanpa polisi atau personel keamanan yang terlibat dalam proses tersebut. Keterlibatan stakeholders kami dengan suku Dayak Basap selama HRDD (Uji Tuntas Hak Asasi Manusia), pernyataan kami ditegaskan kembali bahwa tidak ada paksaan dalam proses relokasi,” paparnya.
Kedua, KPC melibatkan partisipasi masyarakat adat dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi program relokasi. “Tempat relokasi terletak di Matirowali, Keraitan, atau juga dikenal sebagai Kampung Budaya,” tuturnya.
Menurut dia, lokasi relokasi diputuskan berdasarkan hasil survei Bersama. Begitu juga dengan penilaian pada aspek lahan dan kualitas air, aksesibilitas, risiko bencana, infrastruktur, dan kondisi sosial budaya yang diputuskan Bersama antara Tim Segading Resettlement KPC bersama masyarakat suku Dayak Basap pada 2009.
“Selain itu, masyarakat adat juga berpartisipasi dalam Site Plan relokasi Segading,” timpal Ashok.
Ketiga, perseroan menyediakan fasilitas relokasi yang lebih baik atau paling tidak sepadan alias setara dengan lokasi yang digunakan sebagai akses kesempatan kerja dan produksi KPC.
“Relokasi yang dilakukan KPC di Matirowali memberikan akses yang lebih mudah bagi masyarakat adat ke fasilitas kesehatan karena dekat dengan rumah sakit dan klinik setempat.
[caption id="attachment_384820" align="alignnone" width="1018"]
(Foto: Tangkapan Layar/Human Rights Report 2022 PT BUMI Resources Tbk)[/caption]
Pada relokasi tersebut, dia mengungkapkan, KPC menyediakan 70 unit rumah yang lengkap dengan fasilitas sosial dan fasilitas umum pendukung, seperti kantor pemerintahan desa, posko kesehatan desa, masjid, balai adat, pembangkit listrik, instalasi pengelolaan air bersih, bangunan sekolah, akses jalan, dan lain-lain.
“KPC juga melakukan pemberdayaan ekonomi masyarakat, misalnya keripik singkong dan kerajinan tangan,” ucapnya.
Keempat, KPC juga memberikan hak untuk kembali. “KPC tidak memaksa masyarakat suku Dayak Basap untuk relokasi. Unit bisnis kami memungkinkan mereka (masyarkat suku Dayak Basap) untuk mengembalikan atau menolak program relokasi,” kata Ashok.
Selebihnya, KPC terus berbaur dengan masyarakat suku Dayak Basap di Segading dengan melakukan pemberdayaan masyarakat, seperti peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan.
“KPC mendukung pendidikan dengan menyediakan fasilitas sekolah dan guru. Sedangkan terkait kesehatan, KPC mengadakan kegiatan pemeriksaan kesehatan secara berkala,” imbuh Ashok.
“Potensi dampak buruk tersebut, termasuk saat perseroan melakukan relokasi suku Dayak Basap di Dusun Segading terutama menyangkuat hak atas kesehatan dan keselamatan,” kata Ashok Mitra, CEO KPC dalam Human Rights Report 2022 PT BUMI Resources Tbk bertajuk ‘Scale Up Respect for Human Rights from a Global Energy Producer’ di Jakarta, sebagaimana dikutip Rabu (21/6/2023).
Program relokasi Segading merupakan hasil dari Analisis KPC Mengenai Dampak Lingkungan 2010. “Analisis ini berusaha untuk memitigasi dampak buruk kegiatan pertambangan terhadap suku Dayak Basap yang tinggal di Dusun Segading, Desa Keraitan,” ujarnya.
Suku Dayak Basap Segading berlokasi di tengah proyek PIT (lokasi pertambangan terbuka) A, PIT B, dan PIT C milik KPC. Jaraknya, kurang dari 800 meter ke proyek PIT B.
“Hingga tahun 2021, sebanyak 55 kepala keluarga Dayak Basap telah resmi menyetujui untuk pindah ke tempat relokasi Segading,” ucapnya.
Lebih jauh Ashok menegaskan, kegiatan relokasi KPC konsisten dan selaras dengan Global Compact Principles and International Finance Corporation (IFC) Performance Standards on Indigenous People. Prinsip-prinsip tersebut menekankan pada sejumlah aspek.
Pertama, prinsip free, prior and informed consent (FPIC). “Prinsip FPIC ini menunjukkan bahwa suku Dayak Basap harus memberikan persetujuan mereka untuk dipindahkan atau dipindahkan secara sukarela dan tanpa paksaan, intimidasi atau manipulasi,” ucapnya.
Selain itu, sambung dia, persetujuan tersebut diupayakan pada tahap awal pembangunan di mana masyarakat adat memberikan persetujuan dan menerima informasi tentang perkembangan pembangunan dengan mudah diakses, jelas, akurat, dan transparan.
“Proses relokasi oleh KPC yang memakan waktu dua belas tahun menggambarkan proses panjang negosiasi dan diskusi dengan pihak suku Dayak Basap,” ungkap Ashok.
Program relokasi itu sebenarnya sudah dimulai sejak 2005 ketika Ndan Imang melakukan Asesmen Sosial terhadap KPC. Itu kemudian disusul dengan permintaan resmi dari masyarakat adat terkait relokasi Segading.
“Proses mendapatkan persetujuan dari suku Dayak Basap secara damai tanpa polisi atau personel keamanan yang terlibat dalam proses tersebut. Keterlibatan stakeholders kami dengan suku Dayak Basap selama HRDD (Uji Tuntas Hak Asasi Manusia), pernyataan kami ditegaskan kembali bahwa tidak ada paksaan dalam proses relokasi,” paparnya.
Kedua, KPC melibatkan partisipasi masyarakat adat dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi program relokasi. “Tempat relokasi terletak di Matirowali, Keraitan, atau juga dikenal sebagai Kampung Budaya,” tuturnya.
Menurut dia, lokasi relokasi diputuskan berdasarkan hasil survei Bersama. Begitu juga dengan penilaian pada aspek lahan dan kualitas air, aksesibilitas, risiko bencana, infrastruktur, dan kondisi sosial budaya yang diputuskan Bersama antara Tim Segading Resettlement KPC bersama masyarakat suku Dayak Basap pada 2009.
“Selain itu, masyarakat adat juga berpartisipasi dalam Site Plan relokasi Segading,” timpal Ashok.
Ketiga, perseroan menyediakan fasilitas relokasi yang lebih baik atau paling tidak sepadan alias setara dengan lokasi yang digunakan sebagai akses kesempatan kerja dan produksi KPC.
“Relokasi yang dilakukan KPC di Matirowali memberikan akses yang lebih mudah bagi masyarakat adat ke fasilitas kesehatan karena dekat dengan rumah sakit dan klinik setempat.
[caption id="attachment_384820" align="alignnone" width="1018"]

Pada relokasi tersebut, dia mengungkapkan, KPC menyediakan 70 unit rumah yang lengkap dengan fasilitas sosial dan fasilitas umum pendukung, seperti kantor pemerintahan desa, posko kesehatan desa, masjid, balai adat, pembangkit listrik, instalasi pengelolaan air bersih, bangunan sekolah, akses jalan, dan lain-lain.
“KPC juga melakukan pemberdayaan ekonomi masyarakat, misalnya keripik singkong dan kerajinan tangan,” ucapnya.
Keempat, KPC juga memberikan hak untuk kembali. “KPC tidak memaksa masyarakat suku Dayak Basap untuk relokasi. Unit bisnis kami memungkinkan mereka (masyarkat suku Dayak Basap) untuk mengembalikan atau menolak program relokasi,” kata Ashok.
Selebihnya, KPC terus berbaur dengan masyarakat suku Dayak Basap di Segading dengan melakukan pemberdayaan masyarakat, seperti peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan.
“KPC mendukung pendidikan dengan menyediakan fasilitas sekolah dan guru. Sedangkan terkait kesehatan, KPC mengadakan kegiatan pemeriksaan kesehatan secara berkala,” imbuh Ashok.
- Penulis :
- Ahmad Munjin