Pantau Flash
HOME  ⁄  Ekonomi

Ketua GAPKI Desak Penundaan EUDR Demi Lindungi Petani Sawit Kecil di Indonesia

Oleh Shila Glorya
SHARE   :

Ketua GAPKI Desak Penundaan EUDR Demi Lindungi Petani Sawit Kecil di Indonesia
Foto: Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI) Eddy Martono saat menanggapi pertanyaan awak media di sela-sela diskusi “ Step-by-Step Journey of EUDR: Burden or Benefit?” di Jakarta (sumber: ANTARA/Arnidhya Nur Zhafira)

Pantau - Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono, menyatakan harapannya agar implementasi Peraturan Deforestasi Uni Eropa (European Union Deforestation Regulation/EUDR) dapat ditunda guna mencegah dampak negatif terhadap petani sawit kecil di Indonesia.

Harapan Penundaan dan Dampak terhadap Petani

Eddy mengungkapkan bahwa perusahaan-perusahaan besar pun akan terdampak, namun kelompok yang paling rentan adalah para smallholder atau petani kecil.

"Saya terus terang berharap, kalau memungkinkan, ya, di-postponed lagi, supaya kita sambil mempersiapkan diri. Karena yang paling tidak siap adalah smallholder. Sedangkan kita juga terkena dampaknya (sebagai) perusahaan," ungkapnya.

Ia menambahkan bahwa implementasi EUDR bisa menjadi hambatan dalam ekspor produk sawit Indonesia ke pasar Uni Eropa.

"Bagi Indonesia yang merupakan produsen dan eksportir minyak kelapa sawit terbesar di dunia, implikasi EUDR sangat mendalam," ujarnya.

Aturan EUDR dan Posisi Indonesia dalam Klasifikasi Risiko

Dalam regulasi tersebut, Uni Eropa mewajibkan seluruh perusahaan untuk memastikan bahwa produk yang mereka pasarkan tidak berasal dari lahan hasil deforestasi atau yang menyebabkan degradasi hutan.

Menurut daftar klasifikasi risiko deforestasi yang dirilis Komisi Eropa pada Mei 2025, Indonesia masuk dalam kategori risiko standar (standard risk).

Negara-negara seperti Rusia, Belarus, Korea Utara, dan Myanmar dikategorikan sebagai risiko tinggi (high risk), sementara negara-negara Uni Eropa, Amerika Serikat, dan China masuk kategori risiko rendah (low risk), sehingga tidak dikenai kewajiban pengecekan cukai dan pelacakan asal produk.

"Kalau menurut saya, sekarang sebenarnya untuk sementara di awal ini dengan standard risk atau medium risk itu sudah menurut saya bagus, itu sudah bagus," jelas Eddy.

Namun, ia juga menyoroti kemungkinan diskriminasi dalam penerapan regulasi ini.

"Tapi kalau memang nanti ternyata diberlakukan khusus untuk negara-negara EU dan petani EU maupun Amerika dengan zero risk, kita harus react, komplain, dan kompak, karena itu adalah diskriminasi," tegasnya.

Perbaikan Internal Melalui ISPO

Eddy juga menekankan pentingnya momentum ini untuk memperbaiki tata kelola industri sawit dalam negeri, terutama melalui penguatan Sertifikasi Berkelanjutan Minyak Sawit Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO).

"Yang harus kita benahi sebenarnya, di internal kita sendiri, aturan-aturannya," ia mengungkapkan.

Penulis :
Shila Glorya