Pantau Flash
HOME  ⁄  Ekonomi

Ironi Bansos untuk Judi: Ketika Bantuan Negara Disalahgunakan demi Harapan Semu

Oleh Aditya Yohan
SHARE   :

Ironi Bansos untuk Judi: Ketika Bantuan Negara Disalahgunakan demi Harapan Semu
Foto: Ironi Bansos untuk Judi: Ketika Bantuan Negara Disalahgunakan demi Harapan Semu(Sumber: ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin/sgd)

Pantau - Fenomena penyalahgunaan dana bantuan sosial (bansos) untuk berjudi online menimbulkan keprihatinan publik dan menjadi cerminan masalah sosial yang lebih dalam: mentalitas instan dan kurangnya kesadaran moral.

Laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat bahwa dari total 28,4 juta penerima bansos, sebanyak 571.410 orang terindikasi menggunakan dana tersebut untuk judi online (judol).

Total transaksi yang dilakukan oleh kelompok ini mencapai Rp957 miliar, berasal dari sekitar 7,5 juta transaksi.

Uang negara yang seharusnya meringankan beban hidup justru digunakan untuk mendanai praktik yang merusak moral dan merugikan ekonomi masyarakat.

Data Manipulatif, Moral Tercederai

Koordinator Tim Humas PPATK, M Natsir, menyebut praktik tersebut sebagai bentuk penyalahgunaan skema bantuan negara untuk aktivitas ilegal.

Ia menegaskan bahwa praktik ini secara langsung merugikan publik yang seharusnya menjadi penerima manfaat bansos yang sah dan bertanggung jawab.

Anggota Komisi VIII DPR RI, Maman Imanul Haq, juga menyatakan sikap tegas.

"Jika benar mereka terlibat dalam praktik judi online, maka bansos yang mereka terima harus segera dihentikan. Negara tidak boleh membiayai gaya hidup yang merusak," ujarnya.

Meski begitu, Maman menekankan pentingnya verifikasi dan validasi data yang akurat sebelum mencabut hak penerima bansos, karena ditemukan indikasi ketidaksesuaian antara nama pemilik rekening dan NIK penerima bantuan.

Hal ini mengindikasikan kemungkinan adanya manipulasi data atau pemalsuan identitas dalam skema penyaluran bansos.

Judi Online dan Ilusi Kemakmuran Instan

Fenomena ini dinilai sebagai tamparan bagi akal sehat dan nurani kolektif, karena bantuan sosial yang ditujukan untuk meringankan justru memperparah kondisi kemiskinan.

Dalam sejumlah kasus, perjudian dilakukan bukan karena keserakahan semata, tetapi karena tekanan ekonomi yang menyesakkan.

Namun alasan tersebut tidak bisa dijadikan pembenaran.

Judi online hadir seperti “iblis berkedok malaikat”, menjanjikan harapan instan dengan modal minim dan akses cepat melalui ponsel.

Keinginan untuk mendapatkan "cuan besar" dalam waktu singkat menjadikan judi sebagai jalan pintas, menggantikan nilai kerja keras dan kesabaran.

Penulis artikel menekankan pentingnya pendidikan moral dan literasi keuangan sejak dini sebagai bentuk pencegahan.

Ruang-ruang diskusi perlu dibangun, mulai dari keluarga, sekolah, hingga warung kopi—untuk membicarakan nilai, martabat, dan tujuan hidup yang lebih bermakna daripada sekadar uang dan gaya hidup.

Penulis :
Aditya Yohan