billboard mobile
Pantau Flash
HOME  ⁄  Ekonomi

Beban Utang Membayangi Proyek Kereta Cepat Whoosh, Pemerintah Pertimbangkan Restrukturisasi dan Inovasi Pendanaan

Oleh Aditya Yohan
SHARE   :

Beban Utang Membayangi Proyek Kereta Cepat Whoosh, Pemerintah Pertimbangkan Restrukturisasi dan Inovasi Pendanaan
Foto: (Sumber: Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh bisa dioperasikan secara normal pada hari Kamis (19/9/2024). (ANTARA/HO-KCIC/pri.).)

Pantau - Proyek kereta cepat Jakarta–Bandung atau Whoosh sejak awal digagas untuk memangkas waktu tempuh dari sekitar 3 jam menjadi kurang dari 1 jam, meningkatkan konektivitas, dan menjadi simbol transportasi modern Indonesia.

Kolaborasi antara Indonesia dan Tiongkok ini disebut-sebut sebagai tonggak sejarah baru dan awal dari revolusi infrastruktur transportasi nasional.

Namun di balik kebanggaan terhadap kereta cepat pertama di Asia Tenggara ini, beban utang yang signifikan mulai menimbulkan kekhawatiran terhadap keberlanjutan proyek.

Awalnya diklaim tanpa jaminan fiskal, proyek ini kini menghadapi tekanan agar tidak membebani APBN di tengah kinerja keuangan yang belum stabil.

Pembengkakan Biaya dan Tekanan Finansial

Proyek yang semula dirancang dengan anggaran sekitar US$6 miliar mengalami pembengkakan hingga US$7,2 miliar atau sekitar Rp116 triliun.

Pembengkakan ini disebabkan oleh proses pembebasan lahan, perubahan desain, dan kenaikan harga bahan konstruksi.

Sekitar 75 persen dari pembiayaan proyek berasal dari pinjaman luar negeri, khususnya dari China Development Bank (CDB), sedangkan sisanya dari konsorsium PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) yang mayoritas sahamnya dimiliki PT KAI.

Struktur keuangan KCIC mulai menunjukkan tekanan, dengan bunga pinjaman mencapai US$120 juta hingga US$130 juta per tahun atau sekitar Rp2 triliun, belum termasuk pelunasan pokok utang.

Laporan keuangan semester I 2025 menunjukkan bahwa KCIC mengalami kerugian sekitar Rp1,6 triliun.

Selama tahun 2024, jumlah penumpang hanya mencapai 6 juta orang, dengan tarif rata-rata Rp250 ribu per penumpang.

Pendapatan bruto sekitar Rp1,5 triliun belum mampu menutupi beban bunga, apalagi mencapai titik impas operasional.

Risiko Terhadap Keuangan Negara dan Layanan Publik

Meskipun okupansi penumpang meningkat, margin keuntungan tetap tipis karena biaya operasional dan pemeliharaan yang tinggi.

Proyek ini awalnya dijanjikan tidak akan menggunakan dana negara, namun beban finansial yang besar mengubah diskursus publik.

Karena PT KAI adalah BUMN dan pemegang saham terbesar di KCIC, tekanan likuiditas dapat memengaruhi layanan publik lain seperti subsidi kereta lokal dan pengembangan infrastruktur dasar.

Jika tidak dikelola dengan baik, proyek ini berisiko menjadi beban terselubung keuangan negara.

Evaluasi dan Opsi Solusi yang Dipertimbangkan

Proyek Whoosh dinilai terlalu optimistis dalam perencanaan, terutama terkait proyeksi jumlah penumpang yang jauh dari realisasi.

Masyarakat masih banyak memilih kendaraan pribadi atau moda transportasi lain yang lebih fleksibel, murah, dan memiliki akses lebih mudah ke pusat kota.

Lokasi stasiun yang tidak terintegrasi optimal seperti Tegalluar yang jauh dari pusat Kota Bandung turut menjadi hambatan.

Biaya konstruksi yang membengkak menyebabkan pinjaman meningkat, sehingga beban bunga ikut membesar.

Selain itu, mayoritas pinjaman berasal dari luar negeri dengan bunga dan tenor yang tidak fleksibel, membuat proyek rentan terhadap fluktuasi nilai tukar dan tekanan makroekonomi.

DPR dan publik mulai menyoroti isu ini secara serius.

Beberapa pihak menilai proyek ini belum layak secara ekonomi, sementara yang lain menyebutnya sebagai investasi jangka panjang yang tak bisa ditinggalkan begitu saja.

Fokus kini beralih pada pengelolaan risiko dan restrukturisasi struktur keuangan.

Pemerintah membuka opsi untuk melakukan restrukturisasi utang ke CDB, termasuk kemungkinan memperpanjang tenor, menurunkan bunga, atau memberikan masa tenggang pembayaran.

Namun negosiasi antarnegara seperti ini tidak mudah, karena China ingin menjaga kepastian atas investasinya.

Opsi lain adalah penyertaan modal negara (PMN) tambahan ke PT KAI, meskipun langkah ini berisiko secara politik karena publik dapat menilai bahwa uang rakyat dipakai untuk menalangi proyek yang semestinya dibiayai badan usaha.

Tanpa dukungan fiskal, beban bunga dapat mengguncang stabilitas keuangan KAI dan mengganggu pembayaran utang korporasi secara keseluruhan.

Potensi Jangka Panjang dan Peluang Pendapatan Alternatif

Meskipun beban finansial tinggi, proyek Whoosh masih menyimpan potensi strategis besar bagi perekonomian nasional.

Peluang utama terletak pada pengembangan kawasan transit-oriented development (TOD) di sekitar stasiun seperti Halim, Karawang, Padalarang, dan Tegalluar.

Jika dikelola secara komersial, KCIC dapat memperoleh pendapatan dari sektor properti seperti pusat belanja, perkantoran, hingga residensial.

Pendapatan non-tiket ini di berbagai negara menjadi penyeimbang finansial utama bagi operasional kereta cepat.

Operator JR East di Jepang dan Taiwan High-Speed Rail (THSR) telah membuktikan keberhasilan model ini, dengan mengandalkan bisnis properti dan ritel sebagai tulang punggung pendanaan kereta cepat mereka.

Dengan strategi serupa, pemerintah berharap proyek Whoosh bisa lepas dari ketergantungan utang dan menjadi aset transportasi modern yang berkelanjutan.

Penulis :
Aditya Yohan