
Pantau - Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Afghanistan yang dikelola Taliban pada Jumat (24/1/2025) dengan tegas mengecam dan menolak permintaan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) untuk mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap dua pemimpin Taliban.
Baca juga: Ketegangan Meningkat di Perbatasan: Pakistan dan Taliban Saling Tuduh Setelah Serangan Udara
Dalam pernyataan resmi, Kemlu Afghanistan menyebut surat perintah penangkapan itu, yang menuduh kedua pemimpin melakukan penindasan terhadap perempuan dan anak perempuan, sebagai "tidak memiliki dasar hukum yang adil, penuh standar ganda, dan bermotif politik".
Jaksa ICC mengumumkan pada Kamis (23/1/2025), pihaknya mengajukan surat tersebut untuk pemimpin spiritual tertinggi Taliban, Haibatullah Akhundzada, dan Abdul Hakim Haqqani, yang menjabat sebagai ketua Mahkamah Agung (MA) Afghanistan sejak 2021.
Jaksa ICC menyatakan, penindasan ini terjadi di seluruh Afghanistan sejak 15 Agustus 2021—hari ketika Taliban merebut Kabul setelah dua dekade pemberontakan melawan pemerintah dukungan Barat—hingga kini.
Baca juga: Menteri Utama Taliban Tewas dalam Ledakan di Kabul
Setelah kembali berkuasa, Taliban memperketat akses perempuan ke ruang publik, pekerjaan, dan pendidikan, termasuk menutup sekolah menengah dan universitas bagi siswa perempuan.
"Sangat disayangkan, selama dua dekade pendudukan di Afghanistan, institusi ini (ICC) menutup mata terhadap kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh pasukan asing dan sekutu domestiknya," demikian pernyataan Kemlu Afghanistan.
Sementara itu, Amnesty International menyebut pengumuman dari jaksa ICC ini sebagai langkah penting untuk menegakkan keadilan.
Baca juga: PBB: 256 Jurnalis Ditahan Sepihak oleh Taliban
"Ini adalah langkah krusial untuk meminta pertanggungjawaban semua pihak yang diduga bertanggung jawab atas pelanggaran hak fundamental berbasis gender," ujar Sekretaris Jenderal (Sekjen) Amnesty International, Agnès Callamard.
Amnesty International juga meminta jaksa ICC untuk mempertimbangkan kembali putusan pada 2021 yang memprioritaskan penyelidikan atas dugaan kejahatan perang oleh pasukan internasional selama 20 tahun kehadiran mereka di Afghanistan.
Keputusan itu, menurut Callamard, "dapat menciptakan persepsi adanya pendekatan selektif terhadap keadilan internasional yang memprioritaskan kepentingan negara-negara kuat dan sekutunya dibandingkan hak korban atas keadilan."
Sumber: Reuters
- Penulis :
- Khalied Malvino