Pantau Flash
HOME  ⁄  Lifestyle

2021 Akan Lebih Banyak Serangan Siber, Begini Cara Melindungi Data Pribadi

Oleh Gilang
SHARE   :

2021 Akan Lebih Banyak Serangan Siber, Begini Cara Melindungi Data Pribadi

Pantau.com - Kebocoran data pribadi, perusahaan, maupun negara akibat serangan siber terus menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan, terlebih dalam dunia yang semakin digital seperti sekarang, di mana budaya online bahkan semakin kental dengan masyarakat lantaran desakan situasi pandemi COVID-19.

Dalam berbagai kajian empiris, serangan siber pada 2020 meningkat tajam bersamaan dengan gelombang pandemi virus korona di berbagai negara, dan prediksi mengatakan pada 2021 ini bakal melonjak terutama di kawasan pusat perkembangan ekonomi dunia, Asia Pasifik.

Barbarengan dengan berkembangnya Internet of Things (IoT) untuk industri dan juga mulai diaplikasikannya jaringan berkecepatan tinggi Generasi 5 (5G), kawasan Asia Pasifik diprediksi bakal menjadi kawasan dengan pangsa pasar Industrial Internet of Things (IIoT) terbesar mulai 2020.

Baca juga: Begini Cara Membuat Kolase Foto 'Best Nine' 2020 di Instagram

Meskipun perkembangannya terhambat sementara akibat pandemi COVID-19, kawasan ini sepertinya akan tetap menjadi hub (pintu keluar masuk) utama dunia dalam kancah manufaktur industri, menjadi fokus dunia untuk investasi, namun sekaligus incaran bagi pelaku kejahatan siber.

Sebagaimana di negara-negara di dunia, di kawasan kita, Asia Tenggara, masyarakatnya yang terpaksa banyak tinggal di rumah karena pandemi juga tidak menghentikan aktivitas mereka dengan beralih ke digital.

Masyarakat di kawasan ini merupakan di antara pengguna Internet paling aktif di dunia, dan adopsi digital semakin menyebar ke daerah-daerah non-kota kala pandemi melanda.

Sekarang pengguna internet di Asia Tenggara telah mencapai 400 juta hampir 70 persen dari populasi, di mana individu dan bisnis sekarang melakukan banyak hal secara online, bahkan yang sebelumnya tidak menyukai digital pun terpaksa harus daring.

Seiring perkembangan itu, ancaman kejahatan siber juga tentunya bakal meningkat. Berdasarkan laporan perusahaan keamanan Kaspersky baru-baru ini, pada 2020 wilayah Asia Tenggara setidaknya mengalami empat serangan siber besar-besaran yang bisa menjadi pelajaran semua orang.

Pertama, lebih dari 310.000 detil kartu kredit yang dikeluarkan oleh bank-bank ternama di Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam, terlibat dalam pelanggaran data pada Maret lalu.

Pada bulan yang sama, informasi pribadi 91 juta pengguna platform e-commerce terbesar di Indonesia bocor, kemudian dua bulan berikutnya (Mei) 8,3 miliar pelanggan jaringan seluler terbesar di Thailand terekpos.

Lalu, belum lama ini, pada Oktober 2020, platform toko online berbasis di Singapura mengalami pelanggaran data yang memengaruhi sekiar 1,1 juta akun.

Pelanggaran data pribadi lainnya yang menggegerkan Indonesia tahun lalu antara lain kasus bobolnya rekening Ilham Bintang di Commonwealth Bank. Wartawan senior yang juga ketua Dewan Kehormatan PWI pusat itu mengalami kerugian materiil 25 ribu dolar Australia ditambah 16,77 juta dalam denominasi rupiah.

Trend Micro juga mencatat bahwa Indonesia merupakan negara dengan peringkat pertama di dunia dalam serangan malware (perangkat lunak jahat) berkaitan dengan COVID-19, mencapai sebanyak 11.088. Selain itu, serangan email spam yang memanfaatkan COVID-19 juga banyak terjadi di Indonesia, mencapai 11.889, tertinggi di Asia Tenggara.

Bukan semakin berkurang, serangan siber pada 2021 dan ke depannya--sebagaimana prediksi para ahli--, bakal semakin meningkat dan semakin canggih, bersamaan dengan tumbuh pesatnya aktivitas online di dunia.

Bagaimana cara mencegahnya?

Selalu memperbarui perangkat lunak sistem agar tidak rentan terhadap serangan, selain juga harus meningkatkan deteksi keamanan yang melibatkan ahli keamanan untuk melindungi pekerjaan di cloud, email, workstation/PC, jaringan, dan server.

Dari sisi regulasi, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) juga sudah menyediakan landasan hukum berupa Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang belakangan ditambah lagi dengan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (PDP).

Literasi digital juga terus digalakkan oleh pemerintah Indonesia, terutama oleh Kominfo, meskipun perlu ditekankan juga mengenai soal bagaimana pengguna (masyarakat) menjadi aware terhadap keamanan data pribadi dan bagaimana cara melindunginya.

Dalam ekosistem bisnis secara umum, penyedia layanan uang elektronik, bank, e-commerce, fintech, dan layanan publik perlu juga menambahkan autentikasi tiga langkah demi menciptakan benteng berlapis untuk melindungi data pengguna--meskipun sedikit ribet saat proses registrasi awalnya.

Kita perlu menyambut gembira dengan rencana Kominfo untuk memberlakukan autentikasi biometrik dalam registrasi kartu SIM (SIM Card) seluler baru demi meningkatkan keamanan dana pengguna, ketimbang hanya data NIK (Nomor Induk Kependudukan) dan nomor Kartu Keluarga (KK) seperti sekarang.

Pada layer pengguna (end users), masyarakat juga perlu terus diedukasi tentang pentingnya melindungi data pribadi, dan yang lebih penting lagi mereka paham bagaimana langkah-langkah melindungi data pribadi ketiga beraktivitas daring.

Bertaburnya aplikasi Android dan platform lain dengan segala manfaat yang ditawarkan, juga harus disadari itu bisa menjadi pintu masuk kejahatan siber. Permintaan akses ke beberapa data jangan dengan mudah diberikan hanya karena ingin eksis di medsos atau sekedar foto hasil selfie menawan, misalnya. Sayangnya, masih banyak pengguna yang abai soal hal ini.

Baca juga: Kenapa 'Fast Carging' Ponsel Sebaiknya Digunakan Saat Perlu Saja?

Meskipun sepertinya sepele, data pribadi individu yang bocor juga bisa memicu ke peretasan lingkup lebih besar ketika yang bersangkutan menggunakan perangkat yang sama atau username dan kata sandi yang sama untuk pekerjaan di kantornya.

Dengan keamanan berlapis yang baik pada masing-masing layer, baik pada sisi penyedia infrastruktur telekomunikasi, penyedia layanan turunannya atau over the top (OTP), perusahaan pengguna teknologi, hingga pengguna akhir tentu akan membutuhkan banyak waktu bagi penjahat siber untuk bisa mengakses data penting perusahan maupun individu (pribadi. Dan, dengan demikian kasus kejahatan siber berdampak masif bisa ditekan.

Penulis :
Gilang