
Pantau - Kasus ancaman balas dendam melalui konten pornografi (revenge porn) di Indonesia sedang marak dan menjadi perhatian publik.
Direktur Siber Sehat Indonesia (SSI), Ibnu Dwi Cahyo menjelaskan, kasus revenge porn yang muncul di publik ini merupakan fenomena gunung es.
Ia menyampaikan, pada umumnya kasus revenge porn terjadi oleh mantan pasangan. Hal ini karena konten asusila yang dilakukan secara diam-diam.
"Bila melihat di Twitter, sebagian besar konten revenge porn ini disebar oleh pasangan yang belum menikah atau oleh orang lain yang memperoleh konten dengan cara tertentu,” terangnya, Rabu (28/6/2023).
“Karena itu sangat penting edukasi sejak dini soal keamanan siber. Salah satunya, yakni jangan pernah bertelanjang di depan kamera,” lanjutnya.
Ibnu menyampaikan, tanpa edukasi di lembaga pendidikan formal, maka kemungkinan masyarakat menjadi korban revenge porn akan semakin besar.
Secara umum, lanjutnya, para pelaku ini melakukan social engineering meyakinkan korban untuk bersedia untuk mengirimkan konten privasi tersebut, baik foto maupun video.
“Saat pelaku ini sudah mendapatkan konten yang mereka inginkan, sarana media sosial memang biasanya dijadikan ancaman kepada korban, dengan berbagai tujuan," ujarnya
Ibnu mengungkapkan, ada sejumlah motif para pelaku revenge porn melakukan tindak kejahatannya. Di antaranya motif ekonomi dengan pemerasan, atau meminta dilayani hasrat seksualnya.
"Ini jelas sudah melanggar UU ITE pasal 27 ayat 1 dan 4, dimana pelaku tidak hanya mendistribusikan konten asusila disertai dengan ancaman kepada korban,” tegasnya.
Ibnu turut meminta kehadiran negara dalam mengatasi tren ini. Mulai dari edukasi sejak dini dengan kampanye keamanan siber, hingga menertibkan akun media sosial yang mengunggah konten revenge porn.
"Terakhir, penegakan hukum pada pelaku revenge porn harus diberikan secara maksimal sehingga ada efek jera serta menjadi contoh di masyarakat,” tandasnya.
Direktur Siber Sehat Indonesia (SSI), Ibnu Dwi Cahyo menjelaskan, kasus revenge porn yang muncul di publik ini merupakan fenomena gunung es.
Ia menyampaikan, pada umumnya kasus revenge porn terjadi oleh mantan pasangan. Hal ini karena konten asusila yang dilakukan secara diam-diam.
"Bila melihat di Twitter, sebagian besar konten revenge porn ini disebar oleh pasangan yang belum menikah atau oleh orang lain yang memperoleh konten dengan cara tertentu,” terangnya, Rabu (28/6/2023).
“Karena itu sangat penting edukasi sejak dini soal keamanan siber. Salah satunya, yakni jangan pernah bertelanjang di depan kamera,” lanjutnya.
Ibnu menyampaikan, tanpa edukasi di lembaga pendidikan formal, maka kemungkinan masyarakat menjadi korban revenge porn akan semakin besar.
Secara umum, lanjutnya, para pelaku ini melakukan social engineering meyakinkan korban untuk bersedia untuk mengirimkan konten privasi tersebut, baik foto maupun video.
“Saat pelaku ini sudah mendapatkan konten yang mereka inginkan, sarana media sosial memang biasanya dijadikan ancaman kepada korban, dengan berbagai tujuan," ujarnya
Ibnu mengungkapkan, ada sejumlah motif para pelaku revenge porn melakukan tindak kejahatannya. Di antaranya motif ekonomi dengan pemerasan, atau meminta dilayani hasrat seksualnya.
"Ini jelas sudah melanggar UU ITE pasal 27 ayat 1 dan 4, dimana pelaku tidak hanya mendistribusikan konten asusila disertai dengan ancaman kepada korban,” tegasnya.
Ibnu turut meminta kehadiran negara dalam mengatasi tren ini. Mulai dari edukasi sejak dini dengan kampanye keamanan siber, hingga menertibkan akun media sosial yang mengunggah konten revenge porn.
"Terakhir, penegakan hukum pada pelaku revenge porn harus diberikan secara maksimal sehingga ada efek jera serta menjadi contoh di masyarakat,” tandasnya.
- Penulis :
- Aditya Andreas