
Pantau - Setiap 4 Mei diperingati sebagai Hari Pemadam Kebakaran Internasional. Namun bagi banyak petugas damkar di Indonesia, hari itu tak lebih dari parade tagar dan unggahan foto yang tak menyentuh akar persoalan.
Petugas pemadam digambarkan sebagai aktor figuran dalam teater penyelamatan: diandalkan saat krisis, dilupakan saat tenang. Mereka tidak hanya melawan api kebakaran, tapi juga "api dalam perut" akibat gaji minim dan tekanan kerja luar biasa.
Dengan rasio 1 petugas untuk 12.500 warga—jauh dari standar internasional 1:8.000—Indonesia masih tertinggal dalam kesiapan darurat. Bahkan di Jakarta yang lebih baik, rasio 1:10.000 tetap belum ideal.
Data Asosiasi Pemadam Kebakaran Indonesia (APKI) mencatat 40% armada damkar sudah berusia lebih dari 10 tahun, membuat kendaraan mereka ibarat aktor uzur yang dipaksa terus beraksi dalam film laga berbahaya.
Risiko Nyawa Tinggi, Gaji Rendah, dan Minim Apresiasi
Profesi damkar bukan hanya penuh risiko, tetapi juga miskin penghargaan. Risiko kematian petugas damkar tercatat 3,5 kali lebih tinggi dibanding profesi berbahaya lainnya (Journal of Fire Safety Science, 2022).
Mereka menghadapi asap beracun, bangunan runtuh, trauma, hingga risiko kanker paru-paru yang 15% lebih tinggi dari rata-rata. Sayangnya, gaji mereka hanya berkisar Rp 3–4,5 juta per bulan, jauh di bawah petugas di Singapura (Rp 15–20 juta) dan Australia (Rp 30–40 juta).
Anggaran untuk pelatihan dan peremajaan alat? Hanya 0,2% dari APBN. Di balik wajah para pahlawan ini, negara belum cukup hadir dengan fasilitas dan penghargaan yang layak.
Masyarakat Cepat Menyalahkan, Tapi Lambat Memahami
Dalam masyarakat, damkar sering disalahkan saat telat tiba di lokasi. Padahal, misalnya waktu tiba 18 menit bisa dianggap lambat, meski disebabkan oleh jarak jauh atau armada terbatas.
Indonesia hanya memiliki 12.900 petugas damkar untuk 274 juta penduduk (Jurnal Fire Service Management, 2023), dan setiap petugas menangani rata-rata 52 kasus kebakaran per tahun.
Penulis artikel ini mengenang masa kecil saat profesi damkar diidolakan anak-anak. Tapi seiring dewasa, masyarakat mulai meninggalkan cita-cita itu karena tahu betapa sedikit penghargaan yang diterima profesi ini.
Damkar Tak Butuh Pujian, Mereka Butuh Dukungan Nyata
Pak Dirman, seorang komandan damkar kota kecil, menyimpulkan realita dengan pahit:
"Kami tidak butuh tepuk tangan. Kami hanya butuh peralatan yang layak, gaji yang memadai, dan sedikit pengertian ketika kami terlambat datang. Kami juga manusia, bukan pemadam keajaiban."
Petugas damkar bukan mesin, bukan tokoh super. Mereka adalah manusia yang setiap hari menantang maut, bukan untuk panggung atau sorotan, tapi untuk menyelamatkan hidup kita.
- Penulis :
- Gian Barani