
Pantau - Sekretaris Jenderal BPP HIPMI, Anggawira, menyatakan bahwa skema impor BBM antar bisnis (B2B) yang saat ini diterapkan merupakan solusi sementara untuk mengatasi kelangkaan BBM, khususnya di SPBU swasta.
"Saya berpandangan bahwa kebijakan skema B2B impor BBM harus dilihat sebagai jembatan sementara, bukan solusi permanen," ujarnya.
Ia mendukung kebijakan yang diambil pemerintah melalui Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, dengan melibatkan PT Pertamina Patra Niaga sebagai pelaksana utama skema B2B tersebut.
Produksi Domestik Tak Cukup, Impor Jadi Langkah Darurat
Konsumsi BBM nasional pada 2024 tercatat mencapai 1,3 juta barel per hari, dengan bensin menyumbang 870 ribu barel per hari.
Namun, produksi dalam negeri hanya mampu menutup 30–35 persen dari kebutuhan tersebut, sehingga ketergantungan terhadap impor tidak bisa dihindari.
"Tanpa langkah darurat, stok jelas akan kritis," tambah Anggawira.
Ia menilai skema B2B justru mendorong kolaborasi, bukan monopoli, karena membuka ruang kerja sama antara Pertamina dan badan usaha (BU) swasta.
Pertamina disebut telah dua kali bertemu dengan BU swasta untuk menyepakati mekanisme harga transparan (open book) dan pengawasan kualitas BBM melalui join surveyor independen.
Skema Fleksibel dan Prinsip Keadilan Pasar
Dalam pelaksanaannya, Pertamina membuka ruang pertemuan one-on-one untuk mengakomodasi kebutuhan kuota tambahan masing-masing BU swasta, tanpa memberlakukan sistem kuota rata.
"Dengan demikian, konsumen tetap punya pilihan merek BBM dan fairness pasar tetap dijaga," ungkap Anggawira.
Untuk menjamin keadilan pasar dalam skema ini, Anggawira mengusulkan beberapa mekanisme pendukung:
Kuota berbasis data: Mengacu pada volume historis, kapasitas tangki, dan lokasi SPBU
Audit independen: Dilakukan oleh BPH Migas dan lembaga independen secara berkala
Multivendor impor: BU swasta bisa memilih pemasok global sesuai standar Ditjen Migas, dengan Pertamina sebagai agregator logistik
Diversifikasi energi: Pemberian insentif bagi SPBU yang menyediakan biofuel (E20–30, B40) atau pengisian kendaraan listrik (EV)
Digitalisasi distribusi: Pemantauan mutu, harga, dan volume BBM di SPBU secara real-time
Solusi Jangka Panjang: Kilang Baru dan Substitusi Energi
Sebagai solusi permanen, Anggawira menekankan pentingnya membangun kilang BBM baru.
"Tanpa kilang baru, impor bensin akan bertahan di kisaran 350–450 ribu barel per hari hingga 2030," katanya.
Proyek RDMP Kilang Balikpapan disebut akan menambah kapasitas hingga 360 ribu barel per hari, termasuk unit RFCC yang memproduksi 90 ribu barel per hari, dan diproyeksikan beroperasi penuh akhir 2025.
Kilang ini diharapkan mampu menekan impor bensin hingga 20 persen.
Di sisi lain, substitusi energi juga menjadi bagian penting strategi jangka panjang.
Program E20–30 dan B35–40 diyakini mampu mengurangi impor BBM sebesar 5–7 juta kiloliter per tahun.
Sementara itu, elektrifikasi transportasi diproyeksikan dapat menurunkan permintaan bensin hingga 10–15 ribu barel per hari.
Di sektor hulu, pemerintah menargetkan produksi 1 juta barel minyak per hari dan 12 BSCFD gas pada 2030, dengan strategi:
- Insentif eksplorasi
- Penerapan enhanced oil recovery
- Perbaikan iklim investasi
"Pemerintah tentunya menjamin stok BBM tetap aman dan masyarakat terlindungi, sambil memberi waktu untuk memperkuat produksi domestik, mempercepat pembangunan kilang, dan memperluas substitusi energi," kata Anggawira.
Ia menekankan bahwa kebijakan ini, jika dijalankan dengan prinsip transparansi, keadilan, dan kolaborasi, akan menjadi jembatan menuju kemandirian energi nasional.
"Energi adalah urat nadi ekonomi, dan kolaborasi antara negara, BUMN, dan swasta adalah kunci menuju Indonesia Emas 2045," tutupnya.
- Penulis :
- Ahmad Yusuf
- Editor :
- Ahmad Yusuf