HOME  ⁄  Ekonomi

Indef Soroti Kebijakan Tarif Resiprokal AS, Nilai Tak Berdasar Ekonomi

Oleh Pantau Community
SHARE   :

Indef Soroti Kebijakan Tarif Resiprokal AS, Nilai Tak Berdasar Ekonomi
Foto: AS pakai logika defisit dagang untuk hitung tarif, ekonom sebut tidak berdasar ekonomi

Pantau - Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Fadhil Hasan, menilai kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan Amerika Serikat (AS) tidak memiliki dasar ekonomi yang jelas.

Pernyataan ini disampaikan Fadhil dalam Diskusi Publik bertajuk "Waspada Genderang Perang Dagang" yang digelar Indef di Jakarta pada Jumat.

Menurut Fadhil, cara penetapan tarif oleh AS terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia, tidak didasarkan pada perhitungan ekonomi yang valid.

Indonesia saat ini menempati peringkat kedelapan dalam daftar negara yang dikenakan tarif tambahan oleh AS, dengan besaran tarif mencapai 32 persen.

Perhitungan Tarif AS Dinilai Tidak Masuk Akal

Pemerintah AS beralasan bahwa Indonesia mengenakan tarif hingga 64 persen terhadap produk asal Amerika.

Namun, Fadhil membantah klaim tersebut.

Ia menegaskan bahwa tarif yang sebenarnya diterapkan Indonesia hanya berkisar 8–9 persen.

Angka 64 persen itu, jelasnya, berasal dari logika AS yang membagi defisit perdagangan sebesar 16,8 miliar dolar AS dengan total impor AS dari Indonesia sebesar 28 miliar dolar AS.

Hasil pembagian itu kemudian dianggap sebagai tarif rata-rata yang dikenakan oleh Indonesia terhadap produk Amerika.

Tak hanya itu, pemerintah AS juga memasukkan faktor manipulasi mata uang (currency manipulation) serta hambatan non-perdagangan (non-trade barriers/NTB) dalam kalkulasi tarif tersebut.

Fadhil menilai pendekatan ini sangat sulit dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Ia menyebut bahwa penghitungan NTB pun sulit dilakukan secara akurat.

Seorang profesor ekonomi dari University of Michigan bahkan dikutip Fadhil sebagai menyindir metode perhitungan tarif oleh AS.

"Profesor tersebut menyarankan agar ekonom yang bekerja untuk Trump pensiun karena melakukan perhitungan tarif tanpa argumen ekonomi yang dapat dipertanggungjawabkan," kata Fadhil.

Menurut Fadhil, hampir semua pihak, termasuk ekonom di AS, sepakat bahwa pendekatan yang digunakan pemerintah AS membingungkan dan tidak logis.

Namun, kebijakan tersebut tetap diberlakukan secara luas untuk semua negara mitra dagang.

Penulis :
Pantau Community
Editor :
Ricky Setiawan