
Pantau.com - Selain mendatangkan devisa dan pundi-pundi ekonimi untuk warga sekitar, rupanya negara yang hidup dengan industri pariwisata juga menjadi keluhan bagi sebagian penduduk.
Dilansir BBC, penduduk lokal menceritakan bagaimana serbuan turis memengaruhi kehidupan mereka, serta siasat pemerintah merespons industri pariwisata agar pelancong menghormati warga yang tinggal di lokasi destinasi wisata.
Industri pariwisata dunia terus bertumbuh dengan kecepatan sangat tinggi, lebih cepat dari pendapatan kotor global dan menyumbang lebih dari USD8 triliun (sekitar Rp112.700 triliun) bagi perekonomian setiap tahun.
Namun, di beberapa kota yang mencetak rekor jumlah kedatangan turis, pemerintah dan penduduk lokal mulai mempertanyakan apakah pertumbuhan pariwisata ini merupakan pertaruhan yang sepadan.
Baca juga: Carut Marut Tarif Pesawat: Diskon Tiket Selasa-Kamis-Sabtu Masih Solusi?
Untuk memahami pergulatan yang bakal dihadapi kota-kota ini dalam beberapa tahun ke depan, termasuk cara mengatasinya, muncul upaya menyusun indeks tujuan wisata tahun 2030. Kajian ini dikerjakan Dewan Pariwisata dan Perjalanan Dunia (WTTC) dan perusahaan properti JLL.
Dokumen ini bakal digunakan untuk mengukur kesiapan pariwisata. Faktor yang diperhitungkan adalah pertumbuhan industri turisme dan kemampuan kota untuk mengelolanya.
Indeks ini mengukur 75 indikator pariwisata, di antaranya konsentrasi pengunjung, kesiapan penduduk, dan kebijakan otoritas lokal. Targetnya adalah memprediksi tantangan yang akan dihadapi 50 kota besar dunia.
Dalam laporan bertajuk 'Mengelola Momentum', kota dengan pertumbuhan pariwisata yang tinggi disebut berpotensi mengalami tekanan infrastruktur, jika tak ada kebijakan khusus untuk mengelola peningkatan turisme.
Amsterdam
Sebanyak 18 juta pengunjung tahun lalu datang ke kota yang berpopulasi kurang dari 1 juta orang ini. Akibatnya, warga Amsterdam menghadapi peningkatan harga properti, terutama karena bisnis penyewaan properti jangka pendek.
Pelancong di Amsterdam juga berkontribusi terhadap lalu lintas yang sesak dan berbagai masalah yang muncul akibat longgarnya peraturan terkait obat-obatan terlarang di sanq.
Dalam indeks ini, Amsterdam menempati urutan teratas dalam segi konsentrasi pengunjung dan ketegangan pada kota. Penduduk yang tidak senang dengan hal-hal itu memberi kota ini julukan menghina, yaitu 'Venesia', sebuah simbol kota yang dikuasai wisatawan.
Namun, beberapa orang menyebut situasi yang terjadi tidak sesuram seperti yang diberitakan media massa.
"Museum akhirnya mendapatkan anggaran yang cukup dan banyak usaha kecil juga berkembang," kata warga Amsterdam, Hanneke Vroegindeweij, salah satu pendiri agen perjalanan Amsterdam Odyssey.
Baca juga: 5 Rahasia Dapatkan Tiket Pesawat Murah, Cara ke-3 Belum Banyak yang Tahu
"Dalam 42 tahun hidupku, aku belum pernah melihat kotaku seindah ini," ujarnya.
Namun bukan berarti tidak ada pekerjaan rumah yang perlu dilakukan. Pemerintah Belanda sedang menyesuaikan kebijakan secepat mungkin.Otoritas Amsterdam melarang penyewaan jangka pendek seperti Airbnb di area tertentu. Mereka juga berencana melarang kapal pesiar agar tidak berlabuh di kota itu.
Amsterdam juga berupaya menyalurkan wisatawan ke kota-kota Belanda lainnya, seperti Zandvoort (hanya 40 kilometer dari pusat kota Amsterdam), yang namanya diganti menjadi 'Amsterdam Beach' untuk memberi kesan kepada pelancong bahwa daerah itu adalah tujuan yang gampang dituju.
"Kota ini menjalankan beberapa proyek untuk mempromosikan berbagai jenis pariwisata dengan penekanan pada konsep berkelanjutan, 'wisata pengalaman lokal' (slow travel), atau mengeksplorasi kawasan yang kurang dikenal melaui program seperti '24H Noord', "kata Vroegindeweij.
24H Noord adalah bagian dari program 24H Amsterdam. Gerakan ini menawarkan satu hari perjalanan menjelajahi distrik yang kurang dikenal dan ditawarkan agen pariwisata.
"Kami tidak menentang kehadiran banyak turis di Amsterdam. Kami hanya ingin mereka - dan kota - lebih dari sekadar menikmati pariwisata massal," pungkasnya.
rn- Penulis :
- Nani Suherni