
Pantau.com - Nasib Perdana Menteri Pakistan, Imran Khan, berada di ujung tanduk.
Keputusan Mahkamah Agung, yang dijadwalkan Selasa, 5 April 2022, akan memutuskan tentang apa yang akan terjadi pada Imran Khan, menyusul upaya untuk menggulingkannya dari jabatan Perdana Menteri Pakistan.
Para pemimpin oposisi mengajukan mosi tidak percaya terhadap Khan yang dijadwalkan Minggu, 10 April 2022. Namun, pemungutan suara itu diblokir oleh partai Khan sendiri.
Tokoh-tokoh oposisi bereaksi dengan marah, mengajukan petisi ke Mahkamah Agung untuk memutuskan apakah pemblokiran mosi tidak percaya itu sah untuk dimulai.
Hal ini termasuk bencana yang telah menggelisahkan Pakistan. Ini mendorong banyak orang untuk mempertanyakan bagaimana pemerintah berhasil mencapai titik ini, dan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Asal Mula Permasalahan
Imran Khan terpilih sebagai Perdana Menteri Pakistan pada Juli 2018 dengan visi misi mengatasi korupsi dan memperbaiki ekonomi.
Ia populer di antara sebagian besar penduduk. Namun, dukungan terhadapnya pelan-pelan terkikis karena inflasi yang meroket dan utang luar negeri yang membengkak.
Beberapa pengamat telah mengaitkan kegoyahan politik Khan dengan hubungannya yang semakin rumit dengan militer berkuasa. Diduga bahwa hal ini merujuk pada penolakan Khan untuk menandatangani penunjukan kepala baru salah satu badan intelijen berkuasa Pakistan.
Lawan politiknya memanfaatkan kelemahannya yang dirasakan ini, membujuk sejumlah mitra koalisinya untuk membelot ke arah mereka yang mayoritas akan menguntungkan mereka dan meninggalkan Khan dengan sekutu yang menyusut.
Kegagalan Pemungutan Suara Mosi Tidak Percaya
Pada Minggu, 3 April 2022, anggota parlemen oposisi mengajukan mosi tidak percaya ke Majelis Nasional untuk menggulingkan Khan dari kekuasaan, mereka memiliki harapan bahwa mereka akan memiliki mayoritas suara di pihak mereka.
Namun peristiwa ini berbalik dengan dramatis, Ketua Majelis Nasional, Qasim Suri, dengan cepat memblokir mosi tersebut, dengan mengatakan ada "hubungan yang jelas" dengan negara asing untuk membawa perubahan pemerintahan.
Pada hari-hari menjelang pemungutan suara, Khan menuduh oposisi berkolusi dengan kekuatan asing, dan mengatakan dia menjadi target konspirasi yang dipimpin Amerika Serikat untuk menyingkirkannya, karena ia menolak untuk mendukung mereka dalam masalah melawan Rusia dan China. Amerika Serikat menanggapi dengan mengatakan "tidak ada kebenaran" untuk tuduhan ini.
Tapi Suri memutuskan mosi tidak percaya melanggar Pasal 5 konstitusi negara, yang menyerukan kesetiaan kepada negara dan konstitusi.
Khan kemudian mengumumkan pembubaran parlemen, dengan pemilihan cepat yang akan diadakan dalam 90 hari ke depan.
Tokoh-tokoh oposisi menolak keras keputusan tersebut dan menuduh perdana menteri melakukan "pengkhianatan" karena memblokir pemungutan suara, dan mereka berjanji akan mengajukan petisi ke Mahkamah Agung untuk memutuskan apakah pemerintah telah melewati batas dalam memblokir pemungutan suara.
Apa yang Berpotensi akan Terjadi?
Keputusan Mahkamah Agung berpotensi untuk dua hal.
Jika Mahkamah Agung memutuskan bahwa pemblokiran pemungutan suara itu inkonstitusional, Mahkamah Agung dapat memerintahkan mosi tidak percaya untuk dilanjutkan lagi.
Jika itu terjadi, itu akan mengakibatkan pencopotan Khan sebagai perdana menteri.
Namun, jika pengadilan beralasan bahwa keputusan pembicara masuk akal dan bahwa pengadilan tidak dapat ikut campur dalam masalah parlemen, hal ini akan menjadi kemenangan rapuh bagi Khan.
Jika itu terjadi, Khan harus membentuk pemerintahan sementara yang akan memastikan pemilihan berlangsung dalam 90 hari ke depan, dan tidak ada jaminan bahwa dia akan muncul sebagai pemenang pada akhirnya.
Baca juga: Sri Lanka Umumkan Krisis Kesehatan, Imbas dari Krisis Ekonomi Memburuk
- Penulis :
- St Fatiha Sakinah Ramadhani