billboard mobile
Pantau Flash
HOME  ⁄  Lifestyle

Kisah Inspiratif Dzawin Nur, Komika Backpacker ke Pelosok Indonesia

Oleh Dini Afrianti Efendi
SHARE   :

Kisah Inspiratif Dzawin Nur, Komika Backpacker ke Pelosok Indonesia

Pantau.com - Bagi pecinta traveling, siapa yang tidak mengenal sosok Dzawin Nur Ikram? Stand up comedy-an yang kini lebih banyak melanglang buana di puncak gunung dan pelosok Indonesia dibanding berpetualang dari panggung ke panggung untuk open mic.

Menggunakan setelan sederhana kaos biru dan jaket denim, Dzawin bertemu Pantau.com yang sedang menyambangi tanah kelahirannya di Bogor, Jawa Barat, Kamis, 4 Juli 2019. Komika yang juga seorang YouTuber itu sangat terbuka dan siap 'meluapkan' kisahnya selama empat purnama berada di pedalaman Kalimantan dan Sulawesi.

Baca juga : Tersedu-sedu, Komika Abdur Arsyad Cerita Ketakutannya pada Kematian

Keinginan Terpendam Sejak Lama

Dzawin mengakui bagaimana dirinya telah sejak lama mendambakan untuk berkeliling Indonesia, yang pada saat itu ia mulai mencintai gunung sejak 2010. Saat itu pula ia membuat bucket list perjalanannya, kemana saja tempat yang akan ia jelajah. Sayang, tidak pernah kesampaian karena kesibukannya berkuliah dan meniti karir.

Setelah masuk dalam 3 besar di ajang kompetisi stand up comedy di salah satu stasiun televisi swasta, Dzawin melanjutkan prestasinya sebagai komika dengan meraih juara ketiga di ajang  'Maharaja Lawak Mega' di Malaysia. Mimpi petualangannya sempat tertunda karena kesibukannya sebagai komika mengisi acara dari panggung ke panggung untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah.

Tapi sayangnya, secara tidak sadar persiapan dan tabungannya untuk menjalani biduk rumah tangga kandas, dari sanalah ia mulai mencari pengalihan pikiran, hingga akhirnya jiwa petualangnya kembali membara.

Dzawin sejatinya sempat ragu dengan petualangannya itu. Sempat ada penolakan dari dirinya bahwa perjalanannya bukanlah untuk pelarian patah hati karena perempuan. Hingga akhirnya ia tahu bahwa hakikat perjalanan ini ialah 'bertujuan mencari tujuan'.

"Awalnya gue nunda perjalanan ini karena gue enggak punya orientasi begitu, gue jalan sebenernya untuk apa? Gue enggak mau juga karena dia (wanita) tidak sehebat itu, wanita ini tidak sehebat itu sehingga bikin gue ngegembel di jalanan," ungkapnya menggebu-gebu.

Ekspektasi Tak Sesuai Realita


Dzawin Nur (Foto: Pantau.com/Yusuf Fadillah)

Dzawin memulai perjalanannya dari tanah Kalimantan di Desa Juhu yang dihuni oleh suku pedalaman Dayak. Untuk menuju desa tersebut, Dzawin harus berjalan kaki di hutan belantara Kalimantan selama 2 hari. Menurutnya hutan belantara yang harus ia lalui saat menuju Desa Juhu merupakan yang terseram sepanjang petualangannya, banyak pacet dan lintah yang ia temui.

Perjuangan panjang dan melelahkan menuju Desa Juhu bagi Dzawin sebanding dengan pengalaman berkesan yang ia dapat selama disana . Dzawin sempat berpikir jika desa yang ditujunya selayaknya film-film gambaran suku Dayak, dipenuhi sosok yang menyeramkan dan primitif, tapi faktanya itu jauh dari bayangan.

"Gue ketika sampai sana, ada badan penerimaan tamu desa yang paling gokil gue cerita dikasih buah Kitaan, itu tuh buah hutan, dia tumbuhnya cuman di hutan aja di belantara, gue cerita itu enak banget, katanya yaudah nanti di hutan aja, di kebun saya diambil aja semua," ungkapnya.

"Jam 10 malam dia (orang dayak) pulang, jam 12 dateng lagi ngasih tuh buah Kitaan. Jadi artinya dia pulang, dia ngambil ke hutan, dia manjat, dia balik kasih ke kami. Gue enggak pernah dapet keramahan yang sebegini luar biasanya," lanjutnya.

Pengalaman lainnya yang tak kalah menarik adalah ketika Dzawin mengunjungi Kepulauan Sangihe, Sulawesi, ia menemukan masyarakat yang menjadikan kucing sebagai santapan selayaknya lauk pauk sehari-hari, di saat mayoritas penduduk Jawa menjadikan hewan manis berbulu itu sebagai peliharaan yang disayangi.

Mengenai hal itu, Dzawin menilai hanya soal faktor kebiasaan, sama halnya seperti memakan ikan dan cara memasaknya saat hewan itu masih hidup lalu dipukul agar tidak bergerak dan mati.

Tanpa Teman dan Kerabat

Komika kelahiran 22 Agustus 1991, ini memang enggan terlalu memikirkan matang perjalanannya, pada prinsipnya ia pergi karena senang, sehingga apapun perosesnya bisa ia nikmati dengan sukacita. Termasuk pencarian teman seperjalanan.

Pria lulusan Strata-1 Pendidikan Bahasa Inggris UIN Syarif Hidayatullah itu, ternyata memiliki cara unik mencari teman mendaki atau berjalan, seperti melalui media sosial, ia mencari rekan yang bersedia menampungnya.

"Dari Instagram gue dari Sulawesi nih jalurnya kesini-kesini ada yang mau nampung enggak terpaut target aja, ada yang tawarin di Tentena, gue dateng ya udah," ceritanya.

Dari sanalah kemudian jaringan di berbagai pelosok Indonesia terbangun. Orang yang menampungnya punya saudara atau kenalan di suatu tempat yang kiranya bisa ia tumpangi, karena secara kebetulan kediaman itu berada di daerah yang hendak ia tuju.

Satu titik yang membuatnya cukup 'was-was' saat itu, karena ia berniat ke Miangas, Sulawesi, ujung utara Indonesia tapi ia tidak memiliki kawan dan kerabat. Menaiki kapal PELNI yang singgah seminggu sekali. Sempat terbesit rasa ingin kembali naik kapal dan kembali pulang.

"Di pinggir kapal gue duduk satu jam lebih, gue sandarin kedepan tas gue biar kelihatan gue ini backpacker, tentara lewat-lewat, gue diem aja, sempet kepikiran naik kapal lagi, karena posisi agak takut belum kenal siapapun, akhirnya ada tentara yang nyamperin," selorohnya.

Bermodalkan muka cukup memelas, karena keadaanya yang cukup ketakutan saat itu, ia pun mendapat bantuan dan diperbolehkan menginap di Asrama Angkatan Laut. Setelahnya ia mulai berkeliling kampung, dan akhirnya mulai mengenal beberapa orang di sana.

Seminggu kemudian ia kembali ke Sangihe dan di sana pula lah ia merayakan hari raya Idul Fitri jauh dari keluarga sebagai muslim minoritas di tengah mayoritas penduduk beragama katolik.

Taklukkan Nepal dan Tulis Buku

Pria yang pernah menjadi santri selama enam tahun lamanya di Banten itu kerap tidak setuju dengan istilah 'menaklukkan' tapi diakui ia sudah memiliki jadwal perjalanan menuju Nepal atau tepatnya mendaki puncak Island Peak atau sering juga disebut Imja Tse di Pegunungan Himalaya, Nepal.

"Rencananya nanti gue September berangkat ke Nepal, ke Island Peak, Island Peak itu satu puncak di Pegunungan Himalaya, di daerah nepal di ketinggian 6600 mdpl," tuturnya dengan sorot mata antusias.

Mendaki Island Peak bukanlah salah satu mimpi bagi Dzawin, karena baginya dengan ketinggian 8850 mdpl, Everest sebagai puncak tertinggi dunia adalah angan yang ingin sekali ia jejaki. Namun di mata Dzawin Island Peak termaafkan lantaran memiliki trek atau jalur pendakian dipenuhi salju yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

"Tapi tujuan utama bukan karena gunung tertinggi, tapi gue mau gunung yang ada es-nya. Jaya Wijaya, susah dan mahal, tergolong yang mahal sekali, dan es nya cuman ada di puncak," lanjutnya.

Meski ia tidak menampik jika ada yang mengajaknya untuk mendaki gunung di tanah Papua itu, sangat mungkin akan bersedia. Sementara kini, ia tengah fokus mempersiapkan pendakian di September nanti dengan melakukan latihan fisik seperti jogging dua kali seminggu minimal selama 30 menit.

Dzawin merasa bangga bisa memiliki pengalaman berpetualang di banyak pedalaman Indonesia, cerita sedih, bahagia, haru, serta unsur politik dan konspirasi yang ia dapati di pedalaman Kalimantan dan Sulawesi rencananya akan ia tuangkan dalam sebuah buku yang berjudul 'Alasan Pulang', dan Bali dimungkinkan akan jadi tempat ia menuangkan semua ide 'liar'-nya.

"Kalau hakikat pendidikan itu untuk membuat manusia menjadi lebih manusia, buat gue perjalanan adalah untuk membuat rumah menjadi lebih rumah," ujarnya dengan segenap hati.

Dengan tidak menghilangkan unsur dokumenter perjalanannya, cerita buku itu akan ia balut dengan kisah percintaan yang manis dengan nilai perjuangan masyarakat daerah khususnya para pemuda yang berjiwa besar, yang mencoba berbuat dan berbakti untuk Indonesia.

Budget Minimalis, Buah Manis Pengalaman


Dzawin Nur (Foto: Pantau.com/Yusuf Fadilah)

Pria yang bercita-cita menjadi dosen ini memiliki pemikiran unik, khususnya dalam hal keuangan dan gaya hidup. Di saat kebanyakan pria mendambakan aneka barang bermerk, tidak dengan Dzawin yang pakaiannya sekedar nyaman dipakai dan terlihat pantas di satu kondisi. Ia lebih memilih menginvestasikan uangnya untuk pengalaman traveling.

"Ada orang yang menginvetasikan uangnya untuk barang, ada orang yang menginvestasikan untuk keamanan, investasi dan segala macem, ada juga orang yang menginvestasikan uangnya dalam bentuk pengalaman, gue memilih untuk dalam bentuk pengalaman," ujarnya dengan semangat membara.

"Baju gue murah-murah, mana ada hypebeast- hypebeast-nya itu enggak ada, gue enggak ada hasrat untuk ke barang itu tidak begitu besar," lanjutnya.

Percaya tidak percaya, perjalanan selama 4 bulan ke pelosok tanah air, setiap bulannya, Dzawin hanya menghabiskan tak lebih dari 50 persen uang yang biasa ia keluarkan ketika di ibu kota dalam sebulan

"Bukan karena gue hidup di Jakarta boros ya, tapi karena selama perjalanan gue numpang, gue menempatkan diri gue selemah mungkin. Tapi gue sadar di sana gue harus mau nyapu ngepel, bantu-bantu," ceritanya

Baca juga : Kisah Inspiratif Dhani Aditya Komika Difable Melawan Stigma

Ia kemudian bercerita bagaimana ia ditampung oleh TNI Angkatan Laut saat tidak punya tempat bernaung di Miangas, Sulawesi. Beberapa relasi pertemanannya di sosial media, komunitas, dan organisai ia gunakan sebaik mungkin. Begitupun sebaliknya saat orang butuh bantuan ia pun berusaha menolongnya.

Penulis :
Dini Afrianti Efendi