
Pantau - Pada era Orde Baru, masyarakat sangat familiar dengan nama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). ABRI merupakan gabungan antara angkatan perang dan kepolisian.
Hal ini tercantum dalam Tap MPRS Nomor II/1960 yang ditegaskan kembali dalam UU Nomor 13/1961 yang menyatakan, kepolisian negara adalah angkatan bersenjata.
Integrasi Polri ke dalam ABRI pada awalnya bertujuan untuk menyamakan mental perjuangan. Namun, konsep Dwifungsi ABRI yang dicetuskan oleh Jenderal A.H. Nasution menyeretnya ke ranah politik.
Selama masa Orde Baru, ABRI memiliki peranan penting dalam stabilisasi politik di Indonesia. Hal ini tercermin dari adanya Fraksi ABRI di tubuh DPR/MPR RI.
Setelah Soeharto lengser, wacana pemisahan polisi dari ABRI kembali menguat. Sebelumnya, pada 1993, pakar hukum Jacob Elfinus Sahetapy telah mengemukakan hal tersebut.
Dalam buku Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia, Sahetapy dan kawan-kawan berpendapat, terdapat perbedaan tugas antara polisi dengan tentara.
Menurut mereka, jika tentara bertugas mempertahankan negara dari ancaman musuh dengan kekerasan dan dalam kondisi tertentu bisa mengesampingkan HAM. Maka, polisi bertugas mengamankan masyarakat agar tercipta ketertiban dan rasa aman tanpa melanggar HAM.
Lalu pada perayaan HUT ABRI tanggal 5 Oktober 1998, Presiden B.J. Habibie dalam amanatnya menyinggung soal pemisahan tersebut. Hal ini bertujuan agar polisi lebih profesional sebagai penegak hukum.
Pada 1 April 1999, diadakan prosesi serah terima di Markas Besar ABRI, Cilangkap, Jakarta Timur. Kepala Staf Umum ABRI, Letjen Sugiyono menyerahkan panji-panji Polri kepada Sekjen Dephankam, Letjen Fahrul Rozi.
Dari Fahrul Rozi, panji-panji itu lalu diserahkan kepada Kapolri kala itu, Jenderal Roesmanhadi. Kini, Polri resmi berpisah dari ABRI dan berada di bawah naungan Dephankam pada 1 April hingga 31 Desember 1999.
Setelah Polri berpisah dengan ABRI, tiga matra yang tersisa kini berubah nama menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Sementara, Polri juga telah lepas dari Departemen Pertahanan dan langsung berada di bawah presiden.
Hal ini tercantum dalam Tap MPRS Nomor II/1960 yang ditegaskan kembali dalam UU Nomor 13/1961 yang menyatakan, kepolisian negara adalah angkatan bersenjata.
Integrasi Polri ke dalam ABRI pada awalnya bertujuan untuk menyamakan mental perjuangan. Namun, konsep Dwifungsi ABRI yang dicetuskan oleh Jenderal A.H. Nasution menyeretnya ke ranah politik.
Selama masa Orde Baru, ABRI memiliki peranan penting dalam stabilisasi politik di Indonesia. Hal ini tercermin dari adanya Fraksi ABRI di tubuh DPR/MPR RI.
Setelah Soeharto lengser, wacana pemisahan polisi dari ABRI kembali menguat. Sebelumnya, pada 1993, pakar hukum Jacob Elfinus Sahetapy telah mengemukakan hal tersebut.
Dalam buku Sejarah Perkembangan Kepolisian di Indonesia, Sahetapy dan kawan-kawan berpendapat, terdapat perbedaan tugas antara polisi dengan tentara.
Menurut mereka, jika tentara bertugas mempertahankan negara dari ancaman musuh dengan kekerasan dan dalam kondisi tertentu bisa mengesampingkan HAM. Maka, polisi bertugas mengamankan masyarakat agar tercipta ketertiban dan rasa aman tanpa melanggar HAM.
Lalu pada perayaan HUT ABRI tanggal 5 Oktober 1998, Presiden B.J. Habibie dalam amanatnya menyinggung soal pemisahan tersebut. Hal ini bertujuan agar polisi lebih profesional sebagai penegak hukum.
Pada 1 April 1999, diadakan prosesi serah terima di Markas Besar ABRI, Cilangkap, Jakarta Timur. Kepala Staf Umum ABRI, Letjen Sugiyono menyerahkan panji-panji Polri kepada Sekjen Dephankam, Letjen Fahrul Rozi.
Dari Fahrul Rozi, panji-panji itu lalu diserahkan kepada Kapolri kala itu, Jenderal Roesmanhadi. Kini, Polri resmi berpisah dari ABRI dan berada di bawah naungan Dephankam pada 1 April hingga 31 Desember 1999.
Setelah Polri berpisah dengan ABRI, tiga matra yang tersisa kini berubah nama menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Sementara, Polri juga telah lepas dari Departemen Pertahanan dan langsung berada di bawah presiden.
- Penulis :
- Aditya Andreas