HOME  ⁄  Nasional

Tangis Wartawan di Hari Buruh: PHK Massal Jadi Cermin Krisis Media Konvensional

Oleh Gian Barani
SHARE   :

Tangis Wartawan di Hari Buruh: PHK Massal Jadi Cermin Krisis Media Konvensional
Foto: PHK massal wartawan warnai May Day 2025, media konvensional terancam runtuh di tengah gelombang digitalisasi dan peralihan anggaran iklan(Sumber: ANTARA FOTO/Fathul Habib Sholeh/tom.).

Pantau - Peringatan Hari Buruh Internasional 2025 diwarnai kabar memilukan dari dunia jurnalisme, dengan beredarnya video pemutusan hubungan kerja (PHK) massal terhadap insan media yang ramai diperbincangkan di media sosial.

Sebuah video menunjukkan seorang pembawa berita televisi swasta menangis saat menyampaikan kabar perpisahan rekan-rekannya sesama wartawan yang harus undur diri dari layar kaca karena perusahaan tak mampu lagi membayar upah.

Jurnalis dari biro lain juga mengunggah video perpisahan dengan narasi senada, mencerminkan krisis akut yang kini melanda media konvensional.

Ketika Wartawan Membela Kaum Lemah, Tapi Tak Dibela Saat Terpukul

Selama ini, para wartawan dikenal sebagai pembela suara kaum marginal, termasuk buruh.

Namun ketika mereka sendiri menghadapi nasib yang sama—ter-PHK secara massal—tak banyak suara pembelaan yang terdengar.

Wartawan yang dulu gagah menyuarakan keadilan kini menanggung sendiri penderitaan kehilangan pekerjaan, bersama keluarga mereka.

Jasa-jasa mereka bagi bangsa, ekonomi, dan pemerintahan seolah terlupakan saat nama mereka tak lagi tercantum dalam daftar karyawan aktif.

Padahal sejak masa perjuangan kemerdekaan hingga era reformasi, pers memiliki peran besar dalam memperjuangkan kepentingan publik.

Kini, perhatian pemerintah dan pelaku usaha lebih banyak tertuju pada media sosial, dengan alokasi anggaran iklan yang bergeser dari media konvensional ke platform digital.

Saatnya Adaptasi: Jurnalisme Tak Mati, Hanya Berubah Bentuk

Gelombang PHK menjadi otokritik bagi dunia pers untuk terus beradaptasi dan kreatif bersaing dengan kecepatan media sosial.

Namun, PHK bukan akhir dari jalan para jurnalis.

Kebiasaan bekerja di bawah tekanan dan tingkat kreativitas yang tinggi bisa menjadi bekal untuk bertahan dan bangkit.

Wartawan ekonomi, misalnya, bisa memanfaatkan jejaring untuk membuka usaha sendiri.

Mereka juga memiliki keterampilan mahal: menulis, mengolah berita, memotret, hingga membuat video—kemampuan yang jika dipelajari di bangku kuliah membutuhkan biaya besar dan waktu panjang.

Jika tak ada kepedulian bersama, media konvensional perlahan bisa runtuh—dan bila ruang informasi hanya diisi media sosial, publik berisiko menerima informasi yang tidak berimbang dan penuh polarisasi.

Ajakan untuk peduli bukan permintaan belas kasihan, melainkan dorongan agar masyarakat tetap membaca, menonton, dan mendukung media konvensional sebagai salah satu pilar demokrasi.

Tak ada kata mati bagi wartawan.

Seperti kredo prajurit yang tak berhenti berjuang, para jurnalis tetap berkontribusi di medan tugas kehidupan, dengan fisik dan intelektual sebagai senjata utama.

Penulis :
Gian Barani

Terpopuler