
Pantau - Meski Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 telah menetapkan batas usia minimal perkawinan adalah 19 tahun, praktik perkawinan anak masih sering terjadi di berbagai wilayah Indonesia, termasuk di Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.
Untuk mengatasi persoalan ini, UNFPA meluncurkan Pelatihan Fasilitator Remaja dan Dewasa sebagai bagian dari proyek Perempuan Indonesia Hidup Tanpa Kekerasan (PIHAK), guna meningkatkan pemahaman masyarakat tentang perlindungan perempuan dan anak serta memperkuat akses layanan berkualitas bagi penyintas kekerasan.
Lindayani dan Ahmad Yani Jadi Garda Terdepan Hadapi Perkawinan Anak
Lindayani, fasilitator komunitas dari Desa Lenek Duren, Lombok Timur, merupakan salah satu peserta pelatihan.
Ia telah menangani kasus perkawinan anak di desanya, termasuk kasus melibatkan anak SMP dan SMA yang berujung pada kehamilan tidak diinginkan.
Kasus tersebut bahkan sempat mengarah pada dugaan upaya pengguguran kandungan.
Lindayani melaporkan kejadian itu ke UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), serta mengawal proses dispensasi nikah yang akhirnya ditolak oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Lombok Timur.
Karena dispensasi ditolak, pihak keluarga memilih menikahkan anak-anak tersebut secara agama.
Fasilitator lainnya, Lalu Ahmad Yani, menyoroti praktik budaya yang masih mendiskriminasi perempuan, seperti anggapan bahwa perempuan hanya berperan di "dapur, sumur, kasur" serta praktik adat merarik (melarikan perempuan) yang masih kerap berakhir dengan pernikahan.
Ahmad menyatakan komitmennya untuk terus menyosialisasikan kesetaraan gender dan penolakan terhadap praktik perkawinan usia anak.
Desa Lenek Duren sendiri telah memiliki Peraturan Desa (Perdes) yang secara khusus mengatur perlindungan perempuan dan anak.
Pemerintah Daerah dan Masyarakat Bergerak Bersama
Pelatihan Fasilitator Remaja dan Dewasa digelar pada 10–13 Juni 2025, diikuti oleh 30 peserta dari Desa Lenek Duren, Desa Montong Betok, dan perwakilan dari kabupaten.
Proporsi peserta perempuan lebih banyak (3:2) untuk mendorong pemberdayaan dan kecakapan perempuan dalam isu perlindungan anak.
Kegiatan ini merupakan pelatihan ketiga sejak 2024, dengan materi mencakup perspektif gender, teknik fasilitasi, dan penanganan kasus kekerasan terhadap anak.
Proyek PIHAK sendiri dijalankan UNFPA bersama mitra Yayasan Pulih dan LPSDM di empat provinsi: Brebes, Garut, Lombok Timur, dan Serang.
Kepala DP3AP2KB Lombok Timur, Ahmat, menyatakan komitmen penuh pemerintah daerah dalam menangani perkawinan anak.
Sejak 2021, Bupati Lombok Timur telah menginstruksikan seluruh camat dan kepala desa untuk membuat Perdes tentang pencegahan perkawinan anak.
Selain itu, telah terbit Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 41 Tahun 2020 tentang Perkawinan Anak serta Peraturan Daerah (Perda) tingkat provinsi tentang Penundaan Usia Perkawinan.
Upaya pencegahan juga dilakukan melalui sosialisasi di sekolah-sekolah, di mana para guru diwajibkan menyampaikan materi tentang dampak perkawinan anak sebelum pelajaran dimulai.
Masih Banyak Kasus Tersembunyi, Perlu Edukasi Berkelanjutan
Data DP3AP2KB mencatat 27 kasus perkawinan anak di Lombok Timur selama Januari–Mei 2025.
Pada 2024 tercatat 38 kasus, dan pada 2023 sebanyak 40 kasus.
Namun demikian, angka perkawinan siri atau tidak tercatat diperkirakan jauh lebih besar dari data resmi.
Pemerintah daerah dan mitra lembaga swadaya menekankan pentingnya edukasi berkelanjutan serta peningkatan kualitas pendidikan masyarakat untuk menyadarkan bahaya perkawinan anak.
Praktik ini tidak hanya melanggar undang-undang, tetapi juga merampas hak anak atas pendidikan, kesehatan, dan perlindungan dari kekerasan.
Harapannya, Lombok Timur dapat menjadi contoh daerah yang tidak lagi menyumbang angka dispensasi nikah tinggi di tingkat nasional.
- Penulis :
- Balian Godfrey
- Editor :
- Ricky Setiawan