
Pantau - Strategi nasional kecerdasan buatan (AI) Indonesia harus diarahkan untuk menjawab tantangan konkret di sektor ekonomi riil seperti pertanian, perikanan, manufaktur, dan logistik, bukan hanya mengikuti tren teknologi abstrak dari luar negeri.
AI untuk Sawah, Laut, dan Pabrik, Bukan Sekadar Metaverse
Di tengah dominasi narasi teknologi futuristik dari pusat inovasi global seperti Silicon Valley, kondisi riil di lapangan di Indonesia menunjukkan kebutuhan yang berbeda.
Petani di Karawang kesulitan menghadapi cuaca yang tak menentu dan distribusi pupuk yang tidak transparan.
Nelayan di Natuna memerlukan data satelit untuk efisiensi bahan bakar.
Manajer pabrik di Jawa Tengah lebih membutuhkan teknologi perawatan prediktif daripada visualisasi hyper-realistic.
Teknologi AI dibutuhkan untuk menjawab kebutuhan yang membumi, bukan sekadar konten digital atau metaverse yang abstrak.
“Teknologi harus mau ‘kotor-kotoran’,” menjadi semangat yang diusung: artinya, AI harus menyatu dengan sistem irigasi, jaringan listrik, logistik, dan pelabuhan, bukan berdiri sebagai alat pembuat konten belaka.
Risiko Kolonialisme Digital dan Deindustrialisasi Dini
Jika Indonesia hanya menjadi pengguna teknologi asing tanpa membangun infrastruktur digitalnya sendiri, maka risiko kolonialisme digital sangat besar.
Kolonialisme ini terjadi saat data dari negara berkembang diekstraksi, diproses oleh negara maju, dan dikembalikan sebagai produk kecerdasan.
Indonesia berisiko menjadi "perkebunan data" global, dan masyarakatnya bisa dikendalikan AI asing yang mengandung bias budaya.
Talenta digital nasional bisa bermigrasi karena minim ruang inovasi, dan industri lokal terjebak sebagai subkontraktor bernilai tambah rendah.
Tanpa AI yang terintegrasi dalam pelabuhan cerdas dan pabrik otomatis, Indonesia bisa mengalami deindustrialisasi dini.
Misi AI Nasional dan Kedaulatan Data
Pemerintah Indonesia didorong untuk segera merumuskan Misi AI Nasional yang fokus pada kedaulatan teknologi dan pemanfaatan pragmatis AI.
BUMN di sektor energi, pangan, dan transportasi harus jadi ujung tombak adopsi AI terapan, sekaligus berperan sebagai inkubator inovasi.
Kedaulatan atas data pendidikan dan kesehatan juga harus menjadi prioritas nasional.
Pendidikan vokasi harus disesuaikan agar generasi muda mampu bekerja berdampingan dengan mesin cerdas, bukan tersingkir olehnya.
Revolusi AI di Indonesia tidak boleh hanya tentang kecanggihan algoritma, tapi soal peningkatan kesejahteraan bersama.
- Penulis :
- Gerry Eka







