Pantau Flash
HOME  ⁄  Olahraga

Menguak Kepantasan Qatar Jadi Tuan Rumah Piala Dunia 2022

Oleh Tatang Adhiwidharta
SHARE   :

Menguak Kepantasan Qatar Jadi Tuan Rumah Piala Dunia 2022

Pantau.com - Penangkapan mantan presiden UEFA, Michel Platini pada Selasa 18 Juni 2019 menghebohkan jagat sepakbola. Betapa tidak, aroma korupsi dan aksi sogok menyogok mulai terendus lewat penyidikan yang dilakukan oleh Parquet National Financier.

Seperti diketahui, Piala Dunia 2022 akan menjadi event olahraga paling kontroversial, sejak Olimpiade Berlin 1936 di bawah Jerman Nazi. Qatar merupakan negara teluk kecil dengan infrastruktur olahraga terbatas. Mereka mengalahkan para kandidat calon tuan rumah Piala Dunia yakni Inggris, Amerika Serikat, Australia, Spanyol-Portugal, Belanda-Belgia, Korea Selatan, dan Jepang.

Penangkapan Platini mengindikasikan Qatar menyuap pejabat FIFA untuk memberikan voting. Mantan legenda Prancis itu, sempat melakukan pertemuan pada 2010 lalu dengan Nicolas Sarkozy (mantan Presiden Prancis), Tamim al-Thani hingga Syekh Hamad bin Jassim.

Baca Juga: Sempat Ditahan, Platini Akhirnya Dibebaskan

Isu yang beredar, pertemuan itu membicarakan soal investasi Qatar di Perancis. Alhasil, ditemukan kesepakatan kalau Qatar akan dipilih menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022. Sejauh ini, Platini membantah tuduhan ini dan ia pun dibebaskan dari penahanan pada Rabu (19/6/2019).

Pembangunan stadion jelang Piala Dunia 2020. (Foto: Getty Images)

Piala Dunia 2022 Qatar itu Perbudakan

Ada kekhawatiran mendalam tentang tuan rumah Piala Dunia dengan UU ketat yang melarang homoseksualitas, dan upaya negara untuk menyensor media tentang masalah ini.

Lalu ada juga eksploitasi pekerja migran, dimana bekerja keras dalam suhu 50 derajat Celcius, paspor mereka diambil, hidup dalam kemelaratan dan dilucuti dari hak asasi manusia. Diperkirakan ada 4.000 pekerja yang melakukan bekerja sebagian besar dari India dan Nepal.

Seperti yang dikatakan oleh pemimpin serikat pekerja Norwegia, Hans-Christian Gabrielsen, “Apakah kita harus berdiam diri untuk setiap beberapa kematian pekerja migran karena konstruksi Piala Dunia Qatar, ada 44 pertandingan selama turnamen, ini akan dimainkan dalam sebuah keheningan," ujarnya seperti dinukil dari Independent.

Mungkin secara mengejutkan, pesimisme media global terkejut dengan beberapa tokoh Qatar yang paling kuat, dimana gagal mengantisipasi kedalaman pengawasan yang akan dihadapi nantinya. Beberapa penyelenggara turnamen pada awalnya berpikir kerugian adalah konsekuensi untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia. Namun di sini, citra Qatar telah sangat rusak.

Ilustrasi stadion Piala Dunia Qatar. (Foto: Getty Images)

Strategi Soft Power

Qatar secara terbuka menyatakan siap untuk bisa menjadi tuan rumah Piala Dunia. Ini adalah strategi soft power untuk hubungan internasional yang didasarkan pada daya tarik dibandingkan sebuah pemaksaan.

Untuk negara baru dan kecil tanpa pertahanan militer, kekuatan keuangan adalah satu-satunya senjata. Namun, akan efektif jika dunia akan melakukan bisnis, jadi Qatar ingin menempatkan dirinya sebagai negara mikro, yang memiliki teknologi canggih melalui arena yang menarik.

Menjadi tuan rumah sebuah event olahraga seperti Piala Dunia dan Olimpiade semakin tidak populer dalam beberapa tahun terakhir karena pengeluaran keuangan telah naik dan manfaatnya kurang jelas.

Realitas keuntungan seperti 'warisan bangunan' itu sangat diragukan. Terpampang gambar fasilitas mahal jelas menunjukkan biaya selaku tuan rumah. Selain tekanan keuangan yang luar biasa, ada potensi kerusakan pada status suatu negara ketika terjadi kesalahan. Qatar telah menghabiskan sejumlah uang yang menggiurkan diperkirakan akan mencapai 90 miliar poundsterling.

Seorang akademisi di Manchester Metropolitan University, Dr Paul Brannagan, telah menciptakan istilah disembowerment untuk menggambarkan fenomena ketika upaya untuk mendapatkan serangan balik dari soft power.

"Apa yang bisa dilakukan berbagai peristiwa besar bagi negara-negara kecil adalah melemparkannya ke panggung dunia, tetapi apa yang menyertai panggung dunia adalah sorotan," kata Dr. Brannagan.

“Pemerintah cenderung berpikir bahwa jika Anda hanya menyelenggarakan acara, itu akan menguntungkan Anda, dan itu sama sekali tidak terjadi. Commonwealth Games 2010 di Delhi dikritik dengan benar karena menggunakan pekerja anak-anak, yang menghancurkan harapan India untuk menjadi tuan rumah Olimpiade. Sebelum Olimpiade 2008 ada insiden China yang keras terhadap Tibet. Sebelum Brasil ada kerusuhan. Sebelum Rusia, ada fokus pada homophobia dan rasisme. Bahkan ada seruan bagi para pemimpin politik untuk memboikot acara tersebut," tambahnya.“Tentu saja itu bisa berhasil seperti London 2012 adalah Pertandingan yang hebat, dan idenya adalah bahwa banyak orang melihat kami membosankan, sombong, jadi apa yang Anda lakukan, Anda mendapatkan sang Ratu terjun payung bersama James Bond. Jerman pada 2006 adalah Piala Dunia yang sangat hebat yang membantu mengatasi stigma negatif yang masih ada," paparnya.Bagi Qatar, ada pro dan kontra yang buruk. Akankah konotasi negatif korupsi dan eksploitasi Piala Dunia 2022 pada akhirnya menciptakan visibilitas dan prestise sebuah penyelenggaraan turnamen sepakbola yang sukses? Kita lihat saja. Dimana para pesepakbola akan tampil pada musim dingin, tepatnya November-Desember 2020. Ini bakal mengganggu jadwal pemain, terutama yang berkiprah di sepakbola Eropa.

Penulis :
Tatang Adhiwidharta