
Pantau - Sejumlah ekonom mengkritik kebijakan impor beras yang diterapkan oleh Presiden Joko Widodo yang dianggap serampangan dan bahkan bergaya Orde Baru (Orba).
Peneliti dari Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Eliza Mardian, mempertanyakan dasar justifikasi dari kebijakan impor beras yang dilakukan oleh pemerintah.
Meski Indonesia mengalami cuaca buruk akibat El Nino, Eliza mengungkapkan bahwa produksi beras sebenarnya hanya mengalami penurunan sebesar 650 ribu ton menjadi 30,9 juta ton.
Sementara itu, lanjutnya, konsumsi beras sepanjang tahun 2023 hanya mencapai 30,8 juta ton, atau masih memiliki surplus tipis sebesar 100 ribu ton.
“Namun, jika kita melihat jumlah impor beras pada tahun 2023 mencapai 3 juta ton, hal ini menunjukkan bahwa impor tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan atau data yang ada,” beber Eliza dalam diskusi virtual, dikutip Kamis (29/2/2024).
Ia mempertanyakan, jika tujuan impor adalah untuk mengatasi kekurangan produksi dalam negeri, seharusnya impor tersebut seimbang dengan penurunan produksi.
"Tetapi impor yang dilakukan justru sangat tinggi, bahkan hampir setara dengan masa krisis pada masa Orde Baru," lanjutnya.
Ia membeberkan, pada masa keruntuhan Orde Baru, impor beras mencapai 2,79 ton pada tahun 1998, dan meningkat drastis menjadi 3 juta ton pada tahun 1999.
Eliza mencurigai adanya praktik permainan beras yang dilakukan oleh sektor swasta. Menurutnya, lonjakan harga beras tidak hanya dipengaruhi oleh pola kenaikan harga pada awal tahun.
Ia juga menyoroti tingginya permintaan beras, terutama karena Indonesia baru saja menjalani Pemilu 2024 yang diikuti dengan Pilkada pada bulan September mendatang. Selain itu, menjelang bulan Ramadan dan Idulfitri 2024, permintaan beras juga meningkat.
"Selain pola kenaikan tahunan, ada juga faktor lain yang menyebabkan krisis beras. Yang paling mendasar adalah kurangnya data yang valid dan real time dalam rantai pasok beras," ujarnya.
"Kita hanya memiliki informasi tentang 10 persen beras yang berada di tangan pemerintah, sementara 90 persen beras yang dikuasai oleh swasta tidak dapat dilacak. Hal ini menyebabkan terjadinya kesan bahwa beras menjadi langka, karena kita tidak dapat melacak keberadaannya," tandasnya.
- Penulis :
- Aditya Andreas