
Pantau - Wakil Menteri Ketenagakerjaan Afriansyah Noor menyatakan akan mengkaji usulan agar dana cukai rokok dapat digunakan untuk memberikan asuransi bagi pekerja di industri rokok.
Ia menyampaikan hal tersebut dalam forum diskusi publik yang digelar Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) di Jakarta pada Selasa, 21 Oktober 2025.
"Memang selama ini pekerja perusahaan rokok hanya mendapatkan asuransi dari potongan yang disiapkan oleh perusahaan. Tadi ada usulan dari forum diskusi publik soal bagaimana kalau cukai rokok itu bisa melingkupi asuransi buat pekerja, nanti kita coba pelajari regulasinya apakah bisa," ungkapnya.
Menurut Afriansyah Noor, yang akrab disapa Ferry, usulan ini akan dikolaborasikan dengan berbagai pemangku kepentingan seperti Kementerian Keuangan dan BPJS Ketenagakerjaan.
"Kalau memang bisa, kita akan sampaikan pada Menteri Keuangan, dan tentunya juga akan berkolaborasi dengan BPJS Ketenagakerjaan," ia menegaskan.
Ferry menilai usulan ini cukup positif karena tidak membebani pihak pengusaha maupun pekerja.
"Menurut saya bagus, dan tidak membebankan pengusaha dan pemerintah, serta pekerja. Jadi cukainya yang diambil itu yang diberikan kepada pekerja untuk lebih meningkatkan jaminan sosial mereka," jelasnya.
Kontribusi dan Tantangan Industri Hasil Tembakau
Dalam forum yang sama, Wakil Menteri Perindustrian Faisol Riza memaparkan bahwa kontribusi Cukai Hasil Tembakau (CHT) pada tahun 2024 mencapai Rp216,9 triliun.
Kontribusi tersebut dinilai penting dalam mendukung penerimaan negara dan menyerap tenaga kerja secara luas.
Faisol menyatakan bahwa ekosistem industri hasil tembakau (IHT) masih menjadi sumber penghidupan bagi jutaan masyarakat, mulai dari petani tembakau dan cengkeh, buruh pabrik rokok, hingga eksportir.
Namun, ia juga mengingatkan adanya eksternalitas negatif dari produk tembakau, terutama terkait risiko kesehatan, sehingga kebijakan yang seimbang perlu diterapkan.
Ia memaparkan bahwa sejak 2020 hingga 2024, tarif cukai terus naik setiap tahun, masing-masing sebesar 23 persen, 12,5 persen, 12 persen, 10 persen, dan 10 persen.
Kenaikan tarif itu juga diikuti dengan kenaikan harga jual eceran rokok.
"Akibatnya, rokok ilegal kini semakin masif beredar di masyarakat dan merugikan industri yang patuh membayar cukai," ujarnya.
Selain kebijakan fiskal, Faisol juga menyoroti kebijakan non-fiskal seperti Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang pelaksanaan Undang-Undang Kesehatan, yang akan berlaku penuh mulai Juli 2026.
Ia menekankan bahwa regulasi tersebut juga perlu disesuaikan agar tidak mengganggu keberlangsungan IHT.
- Penulis :
- Shila Glorya