
Pantau - Kebijakan Bea Keluar Batu Bara yang akan diberlakukan kembali mulai Januari 2026 diperkirakan dapat menambah pendapatan negara hingga Rp19 triliun dalam satu tahun anggaran.
Perkiraan tersebut disampaikan oleh Ade Holis, Analis Kebijakan Publik sekaligus Kepala Peneliti NEXT Indonesia Center, berdasarkan hasil simulasi dari riset yang mereka lakukan.
"Simulasi pendapatan itu hanya berasal dari komoditas dengan kode HS 2701, yakni batu bara dan briketnya", ungkapnya.
Ia menjelaskan bahwa komoditas lignit dengan kode HS 2702 tidak dimasukkan karena merupakan batu bara muda dengan kualitas paling rendah.
Jika lignit turut dimasukkan dalam cakupan Bea Keluar, maka potensi pendapatan negara dipastikan akan lebih besar.
Kebijakan ini merupakan langkah pemerintah untuk mengaktifkan kembali Bea Keluar batu bara yang sebelumnya dibebaskan sejak terakhir diterapkan pada 2005–2006.
Proyeksi Pendapatan dan Alasan Penerapan Kebijakan
Simulasi dari NEXT Indonesia Center menunjukkan tiga skenario potensi pendapatan negara.
Dalam skenario pesimis, penerimaan diperkirakan mencapai Rp11,7 triliun.
Untuk skenario moderat, angkanya berada pada kisaran Rp15 triliun.
Sedangkan pada skenario optimis, potensi pendapatan negara bisa mencapai Rp19 triliun.
Simulasi tersebut menggunakan asumsi tarif Bea Keluar sebesar 2,5 persen, sebagai titik tengah dari kisaran tarif 1–5 persen yang dijanjikan oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa.
"Patokan simulasi itu menggunakan dasar dari Peraturan Menteri Keuangan tahun 2005 saat Bea Keluar Batu bara diberlakukan", jelas Ade Holis.
Tujuan utama dari kebijakan ini adalah untuk menambah pendapatan negara sekaligus menghapus bentuk “subsidi” berupa pembebasan bea ekspor batu bara.
Selain itu, pemerintah juga ingin mendorong hilirisasi dan menekan ekspor batu bara mentah.
Ade Holis menegaskan bahwa kebijakan ini bukan semata untuk menambah penerimaan negara.
Ia menyebut bea keluar juga merupakan instrumen untuk meningkatkan nilai tambah melalui pengolahan batu bara di dalam negeri.
Tantangan Pasar Global dan Rekomendasi Kebijakan
Saat ini, penerimaan negara dari batu bara hanya berasal dari iuran produksi (royalti) dan iuran tetap pertambangan.
Pada tahun 2024, total penerimaan negara dari sektor batu bara mencapai Rp77,9 triliun, atau sekitar 13,33 persen dari total Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Dengan penerapan Bea Keluar, potensi tambahan pendapatan dari sektor sumber daya alam dapat memperkuat fiskal nasional.
Namun demikian, kebijakan ini juga memiliki sejumlah risiko.
Penurunan daya saing di pasar global menjadi salah satu kekhawatiran, terutama di tengah tren penurunan harga batu bara internasional dan kenaikan biaya operasional.
Ade Holis mengingatkan pemerintah untuk memperhatikan sensitivitas harga di pasar global, serta pentingnya momentum penerapan dan desain aturan yang adaptif.
"Misalnya, dengan menyusun formula penghitungan yang transparan di mana pungutan hanya berlaku optimal saat harga sedang tinggi, namun segera direlaksasi atau ditangguhkan ketika kondisi pasar sedang lesu", jelasnya.
Data dari International Trade Center (ITC) menunjukkan bahwa harga jual batu bara Indonesia sepanjang 2020–2024 rata-rata 32,6 persen lebih murah dari harga dunia.
"Artinya, jika ditambah bea keluar sebesar 5 persen pun masih terbuka ruang lebar bagi produsen batu bara Indonesia untuk bersaing di pasar dunia", tegasnya.
Pemerintah disarankan untuk menerapkan struktur tarif berjenjang yang disesuaikan dengan pergerakan harga dan kualitas batu bara.
Selain itu, kebijakan Bea Keluar ini perlu terintegrasi dengan agenda hilirisasi nasional serta dilengkapi dengan mekanisme evaluasi berkala agar dapat disesuaikan dengan dinamika pasar global.
"Dengan pendekatan yang lebih luwes dan berbasis data, bea ekspor batu bara dapat menjadi instrumen yang bukan hanya mengisi kas negara, tetapi juga mengarahkan sektor energi Indonesia menuju struktur yang lebih tangguh dan berkelanjutan", pungkas Ade Holis.
- Penulis :
- Gerry Eka







