
Pantau.com - Media sosial penuh dengan gemerlap foto-foto teman kita yang sedang bersenang-senang - tapi bagaimana hal itu berdampak pada kondisi finansial kita?
Banyak orang yang tergiur berbelanja bukan dari melihat online shop, tetapi mereka justru terhipnotis dari gambar-gambar yang disodorkan oleh instagram.
Hal ini diakui Visage Vijay yang niat berlibur ke Irlandia bersama sang suami. Ia menimbang apakah akan belanja sesuatu yang mahal selama liburan itu. Ia berpikir apakah ia harus merelakan US$3.000 (Rp42,3 juta) untuk membeli tas tangan Chanel pertamanya, setelah melihat teman-temannya dan para selebritis memamerkannya di Instagram.
"Saya terobsesi untuk memiliki tas Chanel, jadi saya mungkin akan segera membelinya," ujar perempuan berusia 37 tahun itu yang dikutip BBC.
"Di instagram, saya menyukai tas tangan," akunya.
Baca juga: Catat! Daging Sapi Rp33.000 per Kg Jika Turun 70 Persen, Ayam Mahal
Ini bukan pertama kalinya manajer keamanan obat di Toronto itu tergerak untuk membeli barang mahal gara-gara postingan instagram.
Dia menghabiskan jumlah uang yang sama untuk membeli tas Prada saat berjalan-jalan ke Italia pada tahun 2017. Semua yang dilakukannya dari berlibur, makan mewah, mengambil kelas, hingga membeli baju ada kaitannya dengan apa yang ia lihat di media sosial.
Kesulitan kendalikan pengeluaran saat liburan?
Ilustrasi (Foto: Pixabay)
Menang lotere triliunan rupiah tapi berujung ke kebangkrutan. Fakta rumit tentang hubungan media sosial dengan citra tubuh seseorang.
"Instagram tidak seperti iklan. Instagram memperlihatkan orang-orang biasa yang melakukan hal-hal biasa. Jadi, saya terpengaruh untuk melihat dan melakukan apa yang mereka lakukan, karena tampaknya mereka menikmati semua itu."
Akan tetapi, kenikmatan itu ada harganya. Menurut penelitian terbaru yang dilakukan sejumlah profesor di Universitas California dan Universitas Toronto, orang-orang lebih banyak membelanjakan uang mereka dan menabung lebih sedikit karena mereka hanya melihat apa yang orang lain beli, bukan apa yang mereka tabung, dan media sosial membuatnya semakin buruk.
Hal itu menciptakan persepsi yang salah, yang disebut bias visibilitas, yang menurut para peneliti tengah mengubah perilaku konsumsi kita.
Baca juga: Sepanjang Tahun 2018, BUMN Kucurkan Kredit untuk 765 Ribu KPR
Apa itu bias visibilitas?
Ilustrasi (Foto: Pixabay)
David Hirshleifer, salah satu penulis dalam penelitian tersebut sekaligus profesor di Sekolah Bisnis Merage, UC Irvine, mengatakan bahwa bias visibilitas tercipta dari cara kita berinteraksi dalam berbagai kondisi sosial.
Orang-orang cenderung membicarakan apa yang tengah mereka kerjakan, menurut Hirshleifer, yang membuat kita lebih memerhatikan jenis konsumsi daripada jenis non-konsumsi.
"Ketika saya melihat akun media sosialnya, mungkin teman saya mengunggah tentang restoran mahal yang didatanginya, atau perjalanan seru yang dilakukannya," ungkapnya.
Ia menyatakan bahwa bentuk komunikasi apa pun yang dilakukan secara tak langsung akan menciptakan bias visibilitas yang lebih kuat. Bias visibilitas telah meningkatkan tren berbelanja secara pesat, seiring semakin murah dan beragamnya cara kita tetap berhubungan dengan orang lain.
Berkat para influencer media sosial dan seabrek blogger kuliner, makanan kini menjadi simbol status yang mudah diikuti.
"Menurunnya biaya komunikasi jarak jauh, munculnya televisi kabel dan VCR, serta bangkitnya internet secara signifikan meningkatkan kemampuan setiap orang untuk mengamati bentuk konsumsi orang lain," ungkap penelitian itu.
Meningkatnya kesadaran akan apa yang orang lain sedang kerjakan bukan hanya membuat kita semakin boros, namun juga memancing kita untuk membuat asumsi-asumsi yang tidak tepat tentang kondisi finansial dan prospek kekayaan kita sendiri di masa depan.
Bias visibilitas dapat membantu mengungkap kenapa tabungan pribadi warga AS, misalnya jumlah uang untuk dibelanjakan dan ditabungkan seseorang, anjlok sejak tahun 1980-an.
Dulu, tingkat tabungan masyarakat AS ada di angka 10 persen; lalu angka itu jatuh ke titik terendah ke angka 3 persen pada tahun 2007.
Baca juga: Kata Ekonom, Cuma 2 Masalah Utama Sektor Keuangan Indonesia
Ilustrasi (Foto: Pixabay)
Dinamika yang sama terjadi di negara-negara maju anggota OECD (Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi). Data pemerintah AS terbaru menunjukkan angka itu pada tahun 2018 berkisar antara 6 persen-7 persen; bahkan seiring meningkatnya tingkat utang pribadi.
Vijay mengaku bahwa jika ia tidak membelanjakan uangnya untuk membeli tas desainer terkenal, ia mungkin akan menabungnya, atau menggunakannya untuk hal lain yang bersifat lebih praktis, seperti melengkapi perabot untuk rumah barunya.
"Pikiran itu terkadang terlintas - tentang saya yang bersikap praktis," ujarnya.
"Rumah kami semakin tua. Jadi jika sesuatu perlu diperbaiki, mungkin kami akan mengambil uang dari tabungan kami alih-alih mengambilnya dari pos yang sudah disediakan," terangnya.
Manajer keuangan asal Toronto, Parth Bhowmick, yakin bahwa Instagram membuatnya mengeluarkan uang lebih banyak, setidaknya $US150 (Rp2,1 juta) per bulan, untuk makan, karena ia kemudian memilih makan di luar rumah empat sampai lima kali seminggu. Salah satu temannya mengelola akun Instagram yang mempromosikan berbagai restoran.
"Kadang, saya melihat linimasanya dan ia sedang berada di sebuah restoran khas China. Di dalam otak saya, tertanam pikiran bahwa saya sudah lama tidak makan makanan khas China. Mungkin saya perlu membelinya," ungkapnya.
Pria berusia 28 tahun itu mengaku bahwa apa yang awalnya hanya sekadar mencari ide restoran untuk dikunjungi, berkembang menjadi sebuah kebiasaan untuk makan di luar beberapa kali seminggu bersama kekasihnya. Ia merasa mungkin ia akan lebih jarang makan di luar jika ia tidak membuka Instagram dan oleh karenanya ia mulai mengurangi jumlah akun Instagram tentang restoran yang ia ikuti.
"Saya merasa hal itu mengurangi intensitas saya berkeinginan untuk makan di restoran atau mencoba teman-teman makan yang belum pernah saya dengar sebelumnya."
Tetapi Bhowmick masih tak percaya dengan jumlah uang yang ia habiskan untuk makan di luar.
"Saya rasa jumlahnya benar-benar besar ketika anda menghitungnya di akhir bulan dan anda merinci apa saja yang anda habiskan," ungkapnya.
- Penulis :
- Nani Suherni