Pantau Flash
HOME  ⁄  Hukum

Fenomena ‘Cyberbullying’ Ancam Bonus Demografi Jadi Bencana

Oleh Ahmad Munjin
SHARE   :

Fenomena ‘Cyberbullying’ Ancam Bonus Demografi Jadi Bencana
Foto: Founder sekaligus Ketua Yayasan SHW Center, Shri Hardjuno Wiwoho. (Pantau/Humas SHW Center)

Pantau – Indonesia bakal memasuki masa puncak bonus demografi pada 2030 di mana 68 persen penduduk adalah berusia produktif. Sayangnya, bonus itu justru terancam berubah menjadi bencana demografi.

Founder sekaligus Ketua Yayasan Syariah Hardjuno Wiwoho (SHW Center), Shri Hardjuno Wiwoho mengungkapkan biang keroknya. Penyebabnya adalah penetrasi media sosial yang begitu massif dan tren perilaku cyberbullying alias perundungan yang begitu tinggi.

“Sebab, generasi usia produktifnya lahir dari ekosistem cyberbullying yang membungkam seluruh potensi yang dimiliki,” kata Hardjuno dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin (13/11/2023).

Lebih jauh ia mengungkapkan, tren kasus cyberbullying melalui media siber di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Oleh karena itu, perlindungan hukum terhadap korban cyberbullying menjadi sangat penting untuk memitigasi agar dampaknya tidak meluas. 

Hardjuno mengusulkan, salah satu langkah yang diusulkan adalah dengan meningkatkan efektivitas peran Satgas Anti Cyberbullying.

Data UNICEF 2020 mengungkapkan, 45 persen anak berusia 14-24 tahun di seluruh dunia telah mengalami perundungan berbasis cyber. Angka itu mirip dengan data dari Center for Digital Society (CfDS) per Agustus 2021 yang meneliti siswa SMP dan SMA usia 13-18 di 34 provinsi di Indonesia.

Hasil riset itu menunjukkan 45,35 persen siswa mengaku pernah menjadi korban. Adapun 38,41 persen lainnya menjadi pelaku. Platform yang sering digunakan untuk kasus cyberbullying antara lain WhatsApp, Instagram, dan Facebook.

“Sehingga memang Cyberbullying ini fenomena yang meresahkan. Cyberbullying lebih seram dari bullying biasa karena bisa 24 jam di-bully. Kapan saja, di mana saja, siapa saja, melalui medsos itu bisa di-bully dan bisa mem-bully juga. Mental generasi muda rusak gara-gara budaya cyberbullying,” ujar Hardjuno, yang juga Staf Ahli Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) telah mendorong sekolah untuk membentuk Satgas Anti Bullying yang di dalamnya termasuk Cyberbullying. 

Namun demikian, kata Hardjuno, tugas, peran, dan peraturan mekanisme Satgas ini perlu diformulasikan lebih tegas dan jelas untuk memberikan kepastian hukum dalam pelaksanaan tindakan. Tujuannya, guna melindungi korban khususnya korban perundungan siber. 

“Maksud saya, selain bullying konvensional, Satgas di sekolah ini juga memberi perhatian penuh pada cyberbullying. Gangguan mental itu ancaman nyata,” timpal dia tandas.

“Dan idealnya, Satgas Anti Cyberbullying ini terdiri dari berbagai elemen, mulai dari unsur perwakilan guru, siswa, dan orang tua,” tuturnya.

Kebijakan Non-Penal Sangat Penting

Hardjuno, lebih jauh, menjelaskan perundungan siber sebagai salah satu jenis kejahatan di dunia maya merupakan problematika di bidang hukum, pendidikan, dan psikologi perkembangan. 

Riset yang dilakukan Hardjuno terkait cyberbullying menunjukkan pentingnya kebijakan non-penal. Ini merupakan kkebijakan di luar hukum pidana yang kuncinya adalah pencegahan dan pembaharuan pandangan masyarakat. Ini juga menjadi salah satu upaya menanggulangi cyberbullying. 

“Riset yang saya kerjakan merupakan riset yuridis-normatif melalui pendekatan konseptual dan peraturan perundang-undangan,” papar dia. 

Untuk itu, menurut Hardjuno, Satgas Anti Cyberbullying sebagai kebijakan baru non-penal di bawah naungan KPAI perlu makin diefektifkan dan secara integral juga melibatkan sarana penal. 

“Sehingga Satgas Anti Cyberbullying di sekolah benar-benar dibekali kemampuan non-penal dan menggunakan sarana pidana sebagai upaya terakhir. Keduanya secara bersama-sama, tidak terpisah, pemahamannya musti dimiliki oleh Satgas di sekolah,” imbuh Hardjuno.

Penulis :
Ahmad Munjin