HOME  ⁄  Internasional

Indonesia Jajaki Kolaborasi Perfilman dengan China, Film "Air Mata Buaya" Jadi Pembuka Jalan di Shanghai

Oleh Balian Godfrey
SHARE   :

Indonesia Jajaki Kolaborasi Perfilman dengan China, Film "Air Mata Buaya" Jadi Pembuka Jalan di Shanghai
Foto: Indonesia Jajaki Kolaborasi Perfilman dengan China, Film "Air Mata Buaya" Jadi Pembuka Jalan di Shanghai(Sumber: ANTARA/Desca Lidya Natalia)

Pantau - Badan Perfilman Indonesia (BPI) tengah menjajaki kerja sama strategis dengan pelaku industri film di China guna memperluas jangkauan film-film Indonesia di pasar Tiongkok.

Pasar China Jadi Target Utama, Kultur Dinilai Lebih Dekat

Ketua Umum BPI, Gunawan Paggaru, menyampaikan bahwa China merupakan pasar besar dengan potensi kerja sama yang kuat bagi perfilman Indonesia.

"China ini kan pasarnya besar sekali ditambah kultur kita lebih dekat dengan China dibanding misalnya ke Hollywood, jadi peluangnya besar sekali", ungkapnya kepada ANTARA dalam acara "Indonesian Movie Cocktail Reception" di Shanghai pada Selasa malam, 17 Juni 2025.

Acara tersebut digelar untuk memperkenalkan film-film Indonesia kepada pelaku industri film dan masyarakat Tiongkok, dengan fokus pada film "Air Mata Buaya".

Film tersebut berhasil lolos seleksi untuk diputar dalam ajang Shanghai International Film Festival (SIFF) ke-27 yang berlangsung pada 13–22 Juni 2025.

"Kami mulai dengan networking karena secara kultur kita dekat dengan China sehingga dapat mudah merasakan emosi, beda dengan film Amerika misalnya, jadi saya sepakat ayo dengan China bersatu untuk mempertahankan kultur dan identitas kita kemudian juga jadi lebih mudah untuk masuk ke pasarnya", lanjut Gunawan.

Ia menambahkan bahwa film Indonesia telah menunjukkan performa impresif di dalam negeri.

Pada 2023, sejumlah film berhasil menembus angka 4 juta penonton, bahkan ada yang mencapai 10 juta.

"Misalnya seperti film animasi Jumbo yang tahun ini bahkan lebih dari 10 juta penonton, itu juga mengubah peta perfilman Indonesia karena film animasi yang bukan gaya Jepang maupun Amerika tapi bisa laris dan bahkan termasuk film anak-anak ternyata menarik banyak sekali penonton, berarti story-telling terlihat beda", ujarnya.

Kolaborasi Format Digital dan Peluang Ekonomi Perfilman

Selain film layar lebar, Gunawan juga melihat peluang kerja sama dalam format drama seri vertikal yang populer di China dan ditonton melalui ponsel.

"Orang sekarang menonton lewat handphone jadi secara vertikal dan banyak di media sosial, untuk menonton film dengan durasi 1 jam penonton diminta membayar jauh lebih besar dibanding menonton bioskop karena harus membeli koin, ini saya juga minta teman-teman di Indonesia belajar ke China bagaimana story-telling-nya supaya orang penasaran dan mau menonton terus", jelasnya.

Sekretaris Umum BPI, Judith Dipodiputro, menyoroti bahwa secara artistik, film Indonesia telah berkembang pesat, namun kontribusinya terhadap ekonomi nasional masih terbatas.

"Meski film-film Indonesia secara seni sangat berkualitas, tapi sebagai industri yang mendorong GDP maupun membuka lapangan kerja belum tampak menghasilkan padahal nilai-nilai kemajemukan Indonesia banyak yang bisa menjadi cerita film", ungkap Judith.

Ia juga mengundang pelaku industri film Tiongkok untuk datang ke Indonesia dan menjalin kolaborasi dengan sineas lokal.

Sementara itu, Konsul Jenderal RI Shanghai, Berlianto Situngkir, meyakini kerja sama ini dapat membuka ruang dialog kreatif antara dua negara.

"Kami mengagumi pencapaian Tiongkok dalam industri film, dari produksi kelas dunia, animasi, hingga integrasi teknologi digital dan kecerdasan buatan. Skala, kecanggihan, dan keterlibatan penonton di sini sungguh luar biasa", ujarnya.

"Ini bukan hanya tentang mempromosikan film Indonesia di Tiongkok, tetapi juga tentang membangun dialog kreatif yang sejati antara kedua negara", tambahnya.

Film "Air Mata Buaya" yang disutradarai oleh Tumpal Tampubolon dan diproduseri oleh Mandy Marahimin bercerita tentang remaja laki-laki yang tinggal bersama ibunya yang overprotektif di peternakan buaya.

Konflik muncul saat sang anak mulai mengenal cinta dan dunia luar, sementara ibunya khawatir akan kehilangan kendali.

Film ini termasuk dalam daftar lebih dari 360 film dari seluruh dunia yang akan diputar secara komersial di bioskop-bioskop Shanghai pada 17–21 Juni 2025.

SIFF merupakan salah satu festival film paling bergengsi di Asia dan satu-satunya festival Kategori A di China yang diakui oleh FIAPF.

Festival ini telah diadakan sebanyak 27 kali sejak 1993 oleh China Film Administration, China Media Group, dan Pemerintah Kota Shanghai.

Pada SIFF 2025, lebih dari 3.900 film dari 119 negara terdaftar untuk mengikuti seleksi.

Penulis :
Balian Godfrey
Editor :
Tria Dianti