
Pantau - Mantan Menteri Luar Negeri Indonesia, Hassan Wirajuda, menyerukan pembentukan gerakan kolektif negara-negara berkembang untuk menghadapi kekacauan geopolitik global dan kebijakan ekonomi sepihak, khususnya dari Amerika Serikat.
Berbicara di Beijing pada Rabu, 2 Juli 2025, Hassan menilai bahwa dunia kini tengah mengalami ketidakstabilan serius, baik dalam aspek perdamaian dan keamanan maupun sistem ekonomi global.
"Kita mengalami kekalutan geopolitik, baik di bidang perdamaian dan keamanan maupun ekonomi dan pada saat yang sama, tatanan dunia yang didasarkan piagam PBB juga melemah sehingga memerlukan upaya kolektif untuk mengatasi hal tersebut," ungkap Hassan.
Ia menyebut bahwa konflik Rusia-Ukraina, ketegangan Timur Tengah termasuk agresi Israel ke Palestina, konflik Israel-Amerika dengan Iran, serta ketegangan India-Pakistan menjadi potret nyata keretakan global saat ini.
Seruan Kebangkitan Kolektif seperti Era GNB dan G77
Hassan juga menyoroti konflik berkepanjangan di wilayah seperti Yaman, Libya, Somalia, Sudan, dan Sudan Selatan yang belum mendapat penyelesaian damai yang adil.
Menurutnya, kondisi ini menegaskan perlunya kepemimpinan global yang kuat dan sistem tata kelola dunia (global governance) yang adil bagi semua negara, bukan dominasi negara besar.
"Indonesia dan negara-negara lain berkepentingan adanya 'minimum order', tidak bisa tidak, harus ada yaitu 'global governance'," jelasnya.
Ia mengingatkan bahwa pada masa Perang Dingin, negara berkembang pernah membentuk Gerakan Non Blok (GNB) di bidang politik dan Kelompok 77 (G77) di bidang ekonomi bersama China sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi negara maju.
Namun, ia menyayangkan bahwa saat ini belum ada inisiatif serupa, meski negara-negara berkembang dirugikan oleh kebijakan sepihak seperti tarif perdagangan dari AS.
"Sayangnya sekarang belum ada upaya kolektif. Semua bicara tentang kebijakan tarif unilateral Presiden AS Trump yang dipaksakan kepada semua negara, tapi apa ada upaya kolektif menghadapi hal itu?" tegas Hassan.
Posisi Lemah ASEAN dan Ketimpangan Perdagangan dengan AS
Hassan menilai bahwa negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia dan Vietnam, hanya melakukan negosiasi bilateral yang posisinya jauh lebih lemah dibandingkan AS.
"ASEAN tidak memiliki suara kolektif. Jadi ada keperluan untuk menyuarakan secara kolektif suara negara-negara yang menjadi korban," ujarnya.
Dalam konteks ini, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto telah beberapa kali bertemu pejabat tinggi AS, termasuk Menteri Keuangan Kenneth Homer Bessent dan Ketua USTR Jamieson Greer, untuk meminta pengurangan tarif impor terhadap Indonesia.
Namun kenyataannya, tarif impor AS terhadap produk Indonesia, terutama tekstil dan garmen, bisa mencapai 47 persen, gabungan dari tarif dasar dan tambahan 10 persen yang diberlakukan selama 90 hari.
AS juga mendesak Indonesia untuk menyeimbangkan neraca perdagangan bilateral yang saat ini menunjukkan surplus RI sebesar 18–19 miliar dolar AS.
Tak hanya itu, AS turut menyoroti kebijakan domestik Indonesia, termasuk Peraturan BI Nomor 21/2019 mengenai penggunaan QRIS sebagai standar nasional pembayaran digital.
- Penulis :
- Aditya Yohan