HOME  ⁄  Internasional

Warga Gaza Kembali Mengungsi: “Hidup di Sini Adalah Kematian yang Perlahan”

Oleh Ahmad Yusuf
SHARE   :

Warga Gaza Kembali Mengungsi: “Hidup di Sini Adalah Kematian yang Perlahan”
Foto: (Sumber: Warga Palestina memeriksa kerusakan pada sejumlah rumah yang berada di dalam kamp pengungsian Shati, di sebelah bawat Kota Gaza, setelah serangan Israel, pada 11 September 2025. (ANTARA/Xinhua/Rizek Abdeljawad))

Pantau - Ribuan warga Palestina kembali berjalan menyusuri Jalan Al-Rashid di Gaza, jalur pelarian yang kini menjadi simbol penderitaan, membawa serta trauma, rasa takut, dan kehilangan yang mendalam akibat serangan Israel yang terus berlanjut.

Tangisan di Jalan Pelarian

Anak-anak menyeret tas sekolah berisi pakaian dan barang kebutuhan pokok.

Para ayah mendorong gerobak reyot berisi selimut dan roti basi, sementara para ibu menangis sambil berjalan, meratapi nasib yang kian suram.

"Saya tidak tahu lagi ketakutan mana yang lebih berat", ujar Um Ahmad Ashour dari Gaza City kepada Xinhua.

"Apakah kehilangan anak-anak saya akibat pengeboman, atau melihat mereka menderita akibat hal yang tidak diketahui yang akan kami hadapi?"

Dengan suara bergetar, Ashour mengungkapkan bahwa keluarganya telah berminggu-minggu tidak bisa tidur akibat penembakan yang tiada henti.

"Harapan kami tinggal pada negosiasi antara Hamas dan Israel untuk mengakhiri mimpi buruk ini. Tapi harapan itu semakin memudar", katanya.

Ashour, seperti ratusan ribu warga lainnya, telah akrab dengan kehidupan penuh ketidakpastian dan pengungsian.

"Selama pengungsian pertama di awal perang, kami merasakan segala macam penghinaan. Kami mati ribuan kali setiap hari", ujarnya.

Ashour sempat kembali ke rumah setelah gencatan senjata awal tahun dan bersumpah tidak akan mengungsi lagi.

"Tapi hari ini, saya kembali ke jalan yang sama, hancur dan tidak berdaya", ucapnya.

Gaza Dihancurkan, Harapan Sirna

Di dekatnya, Khaled Abu Urmana (65), tetangga Ashour, menggenggam tangan cucunya yang gemetar, menatap cakrawala yang penuh debu.

"Saya juga kembali ke Gaza City setelah gencatan senjata pada Februari. Saya pikir kami akan menemukan serpihan kehidupan untuk memulihkan martabat kami. Namun, sebaliknya, kami hanya mendapati lebih banyak penderitaan", ungkapnya kepada Xinhua.

"Janji kami untuk membangun kembali rumah sudah lenyap."

Urmana menyampaikan bahwa ketakutan di Gaza bukan hanya tentang kematian, tetapi juga tentang hari esok yang tidak pasti.

"Di sini, rasa takut meluas ke hari esok yang tidak diketahui keberadaannya", katanya.

Ia mengenang wajah tetangganya yang kini telah tiada, dan masih mendengar suara tawa anak-anak mereka dalam ingatannya.

"Kemudian ditelan oleh keheningan. Kami bukan hanya angka atau gambar di layar. Kami adalah manusia yang memiliki nama, anak-anak yang memiliki mimpi, dan kenangan yang memiliki akar", ucapnya.

Serangan udara Israel kini semakin intensif di seluruh Gaza City.

Menara-menara permukiman dan blok-blok apartemen dihancurkan menjadi puing.

Militer Israel menyatakan akan terus menargetkan "gedung-gedung bertingkat" karena mengklaim bangunan tersebut digunakan oleh Hamas.

Hamas membantah tuduhan tersebut.

Israel telah menyebarkan selebaran dan peringatan via telepon untuk mendorong warga pindah ke "zona kemanusiaan" di Gaza tengah dan selatan, yang kini sudah penuh sesak.

Juru bicara pertahanan sipil Gaza, Mahmoud Basal, mengatakan kepada Xinhua bahwa skala kehancuran dalam waktu kurang dari sepekan melebihi semua yang bisa dibayangkan.

Menurutnya, lebih dari 50.000 orang menjadi tunawisma baru.

Sebanyak 12 gedung bertingkat tinggi dan lebih dari 120 gedung bertingkat sedang telah hancur.

Selain itu, 10 sekolah, lima masjid, dan lebih dari 600 tenda kini menjadi reruntuhan.

"Kami mengajukan permohonan mendesak kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa dan komunitas internasional untuk segera turun tangan menghentikan agresi dan melindungi warga sipil. Situasi ini merupakan bencana besar di segala aspek", ujar Basal.

Hidup dan Mati Tidak Lagi Berbeda

Sebagian warga masih terjebak di Gaza karena tidak bisa atau tidak mau meninggalkan kota.

"Kami tidur dengan suara ledakan dan terbangun karena tangisan orang-orang yang terluka. Saya tidak lagi takut mati. Saya takut terbangun dan mendapati diri saya satu-satunya yang selamat dalam keluarga saya", kata Yasser Abu Shaban, pria berusia 20-an tahun, kepada Xinhua.

Ia terdiam sejenak sebelum melanjutkan, "Di Gaza, kami tidak lagi membedakan antara hidup atau mati. Hidup di sini adalah kematian yang perlahan, dan kematian terasa lebih berbelas kasih daripada penderitaan ini."

Otoritas kesehatan Gaza melaporkan pada Jumat, 12 September 2025, bahwa jumlah korban tewas sejak perang terbaru dimulai pada 7 Oktober 2023 telah mencapai 64.756 orang.

Lebih dari 164.000 warga lainnya mengalami luka-luka.

"Di Gaza, tidak ada perbedaan antara hidup dan mati. Keduanya telah menjadi satu wajah penderitaan. Kami berjalan menuju hal yang tidak diketahui, dan bagi saya, itu tidak kalah menakutkannya dengan kematian yang sesungguhnya", ujar Ashour sambil menyeka air mata putrinya.

Penulis :
Ahmad Yusuf
Editor :
Tria Dianti

Terpopuler