
Pantau - Undang-Undang BUMN resmi direvisi dan kini menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 yang membawa sejumlah perubahan signifikan dalam tata kelola BUMN, termasuk penghapusan status pejabat BUMN sebagai penyelenggara negara sebagaimana diatur dalam Pasal 9G.
Ketentuan tersebut menimbulkan diskursus publik karena berpotensi menghambat mekanisme pengawasan terhadap pejabat BUMN, terutama terkait penindakan tindak pidana korupsi.
Keresahan masyarakat semakin kuat setelah mencuatnya kasus mega korupsi di tubuh BUMN seperti PT Pertamina, PT Timah, dan PT Jiwasraya.
Publik menilai bahwa BUMN, sebagai entitas milik negara yang dibiayai dari pajak rakyat, sangat rentan terhadap praktik korupsi sehingga membutuhkan pengawasan ketat.
Penghapusan status pejabat BUMN sebagai penyelenggara negara dinilai mengurangi akuntabilitas dan membuka celah bagi tindakan melawan hukum.
Permasalahan ini tidak hanya menyangkut jabatan individu, tetapi juga menyangkut posisi kelembagaan BUMN itu sendiri sebagai bagian dari sistem negara.
BUMN, Quangos, dan Debat Kelembagaan
Dalam perspektif hukum tata negara, jabatan berhubungan dengan fungsi lembaga, sementara organisasi merupakan wadah dari fungsi tersebut (Isra, 2020).
Perdebatan mengenai status BUMN muncul karena meskipun sumber modal berasal dari negara, aktivitas BUMN bersifat privat dan mengejar keuntungan (Asshiddiqie, 2006).
Namun, karena menggunakan dana negara, eksistensi BUMN tetap tidak bisa dilepaskan dari peran negara.
Untuk memahami posisi BUMN secara kelembagaan, digunakan konsep Quangos (Quasi Autonomous Non Governmental Organizations) yang dikembangkan dalam tradisi tata kelola Inggris.
Dalam sistem hukum tata negara modern, lembaga negara tidak lagi terbatas pada cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, tetapi berkembang seiring dengan kebutuhan pelayanan publik (Cheremerinsky, 2015; Heringa, 2016).
Quangos muncul ketika fungsi pelayanan publik dialihkan kepada badan non-pemerintah yang dibentuk oleh negara demi efektivitas tata kelola (Flinders, 1999; Van Thiel, 2019).
BUMN sendiri terdiri dari dua bentuk badan hukum, yaitu Perusahaan Umum (Perum) dan Perusahaan Perseroan (Persero), sebagaimana tertuang dalam Pasal 9 UU Nomor 1 Tahun 2025.
Perum sepenuhnya dimiliki oleh negara dan bertujuan memberikan manfaat umum (Pasal 36), sedangkan Persero berorientasi mencari keuntungan (Pasal 13), dengan negara sebagai pemegang saham pengendali minimal 50%+1.
Perbedaan orientasi inilah yang memengaruhi pengkategorian BUMN sebagai lembaga negara.
Perum lebih mudah dikategorikan sebagai Quangos karena fungsi publiknya, sementara Persero hanya bisa dikategorikan sebagai Quangos jika menjalankan cabang produksi penting yang menyangkut hajat hidup orang banyak (Pasal 33 ayat 2 UUD 1945).
Dengan demikian, esensi kelembagaan BUMN bersifat ganda: bisa dianggap sebagai lembaga negara atau bukan, tergantung pada jenis usaha dan bentuk hukumnya.
Pengkategorian tersebut tidak bisa disamaratakan, melainkan harus dilakukan secara kontekstual berdasarkan karakteristik dan tindakan hukum masing-masing BUMN.
- Penulis :
- Pantau Community