Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Refleksi Hardiknas 2025: Saatnya Pendidikan Kembali ke Ruhnya sebagai Pembentuk Karakter Bangsa

Oleh Gian Barani
SHARE   :

Refleksi Hardiknas 2025: Saatnya Pendidikan Kembali ke Ruhnya sebagai Pembentuk Karakter Bangsa
Foto: Skor integritas pendidikan turun, Hardiknas 2025 jadi momentum perkuat karakter dan nilai moral peserta didik(Sumber: ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/nym.).

Pantau - Tema Hari Pendidikan Nasional 2025 “Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu Untuk Semua” mengajak seluruh elemen bangsa untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas dan inklusif, namun realitasnya masih menyisakan persoalan serius terkait menurunnya integritas pendidikan.

Data Menurun, Nilai Karakter Tergerus

Survei Penilaian Integritas (SPI) 2024 yang dirilis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan skor integritas pendidikan hanya 69,50, turun dari 73,7 pada tahun sebelumnya.

Survei ini melibatkan hampir 37 ribu satuan pendidikan dari 38 provinsi dan lebih dari 449 ribu responden.

Temuan SPI menunjukkan praktik menyontek masih terjadi di 78 persen sekolah dan 98 persen kampus, sementara ketidakdisiplinan akademik terjadi pada 45 persen siswa dan 84 persen mahasiswa.

Sebanyak 22 persen sekolah juga masih ditemukan praktik gratifikasi berupa pemberian “bingkisan” demi nilai atau kelulusan.

Kondisi ini mencerminkan bahwa nilai-nilai integritas belum sepenuhnya terinternalisasi dalam dunia pendidikan.

Pendidikan kerap lebih menekankan pencapaian hasil dan administrasi dibanding pembentukan karakter dan moral.

Kembali pada Makna Hakiki Pendidikan

Pertanyaan filosofis pun muncul: apakah pendidikan hanya sekadar proses pengajaran atau sarana pembentukan karakter?

Plato menyebut pendidikan sebagai jalan menuju kebaikan, sedangkan Aristoteles memandangnya sebagai proses menuju eudaimonia—kehidupan yang bermakna.

Ki Hadjar Dewantara menegaskan bahwa pendidikan harus memerdekakan dan berpijak pada nilai budaya bangsa.

Prinsip among, seperti tut wuri handayani, ing ngarsa sung tulada, dan ing madya mangun karsa, menjadi pondasi pendidikan nasional yang menekankan pada peran teladan dan pengasuhan.

Sayangnya, praktik pendidikan saat ini masih dominan kognitif dan teknis, mengabaikan dimensi afektif dan pembinaan sikap hidup.

Padahal, pendidikan sejatinya adalah proses pembiasaan nilai, pengasuhan, dan penguatan kecenderungan batin untuk memilih kebaikan.

Anak sebagai tabula rasa sangat bergantung pada lingkungan, kebiasaan, dan sistem nilai yang dibentuk sejak dini.

Refleksi pengalaman pendidikan di SD dan SMK memperlihatkan bahwa fokus pada hafalan dan keterampilan teknis tidak serta-merta membentuk perilaku baik dan tanggung jawab.

Pendidikan Harus Sentuh Sikap Hidup

Pendidikan yang sejati menyentuh aspek terdalam: sikap hidup.

Zygmunt Bauman menyebut moral tumbuh dari hati nurani, bukan karena paksaan.

Pierre Bourdieu menambahkan bahwa habitus atau kecenderungan perilaku lahir dari struktur sosial dan pengalaman yang terus-menerus.

Jika pendidikan tidak membina sikap hidup, maka ilmu dan keterampilan justru bisa disalahgunakan.

Tanpa karakter, pendidikan hanyalah proses teknis tanpa ruh.

Hardiknas 2025 harus menjadi titik balik untuk menyentuh kembali esensi pendidikan sebagai pembentuk watak dan peradaban bangsa yang bermartabat, sebagaimana diamanatkan Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003.

Penulis :
Gian Barani