
Pantau - Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menyatakan bahwa pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) telah memasuki tahap lanjutan di Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi (Timus Timsin) Komisi III DPR.
Ia menegaskan bahwa meskipun pembahasan telah dilakukan secara terbuka dan substansial, pengesahan RUU ini masih dapat batal jika tekanan politik dari kelompok penolak berhasil memengaruhi keputusan partai politik.
"Bisa saja RUU KUHAP ini tidak jadi disahkan kalau para penolak berhasil meyakinkan para pimpinan parpol untuk menarik dukungan. Tapi jika itu terjadi, kita akan terus menyaksikan korban-korban KUHAP 1981 kembali berjatuhan," ungkapnya.
KUHAP 1981 Dinilai Sudah Tidak Relevan
Habiburokhman menekankan bahwa hukum acara pidana yang berlaku saat ini, yakni KUHAP 1981, sudah tidak relevan dan bahkan menghambat keadilan, sehingga penggantinya menjadi sangat mendesak.
Saat ini, pembahasan RUU KUHAP di Timus Timsin fokus pada penyelarasan redaksional terhadap pasal-pasal yang telah disepakati sebelumnya dalam pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).
Setelah proses teknis tersebut selesai, hasilnya akan dikaji kembali oleh anggota Komisi III di Timus Timsin dan kemudian dikembalikan ke Panitia Kerja (Panja) untuk pengambilan keputusan tingkat pertama.
"Secara teknis, keputusan di Komisi III memang belum final karena Paripurna masih bisa mengubah. Tapi kami pastikan bahwa seluruh tahapan pembahasan dijalankan secara terbuka, disiarkan langsung, dan dapat diakses publik," ia menjelaskan.
Terobosan Reformis dalam RUU KUHAP
RUU KUHAP dinilai memuat banyak terobosan yang bersifat reformis, seperti penguatan hak-hak warga negara dalam proses hukum, penguatan peran advokat, reformasi syarat dan sistem penahanan, serta penerapan prinsip keadilan restoratif.
Habiburokhman juga mengakui adanya kritik terhadap minimnya partisipasi publik dalam penyusunan RUU tersebut.
Namun, ia menyatakan bahwa Komisi III DPR RI telah berupaya maksimal untuk menampung aspirasi masyarakat dan kelompok ahli.
"Yang perlu digarisbawahi, mustahil menyerap seluruh aspirasi karena bahkan antaranggota masyarakat pun pandangannya tidak seragam. Bahkan saya sebagai Ketua Komisi III pun tidak semua pandangan saya bisa masuk," tegasnya.
Ia mengingatkan bahwa jika pengesahan RUU KUHAP kembali gagal seperti pada tahun 2012, maka bangsa Indonesia bisa kembali menunggu lebih dari satu dekade untuk memiliki hukum acara pidana yang baru.
"Pengalaman 2012 membuktikan bahwa kalau gagal sekarang, kita bisa menunggu 12 tahun lagi. Padahal saat ini kita sudah punya draft KUHAP yang sangat reformis dan berkualitas," ia menambahkan.
- Penulis :
- Aditya Yohan