
Pantau - Ketua DPR RI, Puan Maharani, menyoroti urgensi reformasi perlindungan psikososial di lingkungan pendidikan menyusul meninggalnya seorang siswa SMA di Garut, Jawa Barat, yang diduga menjadi korban perundungan berat di sekolah.
Siswa berinisial P (16) ditemukan meninggal dunia pada Senin, 14 Juli 2025, di rumahnya dalam kondisi gantung diri, tepat pada hari pertama masuk sekolah setelah libur kenaikan kelas.
Berdasarkan keterangan keluarga, P telah mengalami bullying fisik dan verbal sejak Juni 2025.
Puan menyampaikan belasungkawa mendalam kepada keluarga korban dan menegaskan bahwa insiden ini bukan sekadar tragedi personal, melainkan cerminan dari krisis sistemik dalam pendidikan nasional.
Sistem Deteksi Lemah, Perlu Reformasi Menyeluruh
Puan menyoroti lemahnya sistem deteksi dan intervensi dini terhadap kekerasan di sekolah, yang membuat banyak kasus bullying tidak terpantau hingga menimbulkan dampak fatal.
Ia menyebut beberapa kelemahan struktural yang harus segera dibenahi, antara lain:
- Minimnya kapasitas guru dalam menangani dinamika psikologis siswa
- Tidak adanya konselor profesional di banyak sekolah
- Lemahnya kanal pelaporan yang ramah anak dan aman
"Penyelesaian kasus perundungan tidak boleh bersifat reaktif, tetapi membutuhkan pembenahan menyeluruh terhadap kelemahan struktural pendidikan," tegas Puan.
Ia mendorong Kementerian Pendidikan, Dinas Pendidikan Daerah, dan seluruh institusi pendidikan untuk memperkuat sistem pelaporan, termasuk pengembangan platform digital anonim yang mudah diakses siswa.
Puan juga menekankan pentingnya kehadiran konselor psikologis profesional di setiap sekolah menengah, bukan sekadar guru BK tanpa pelatihan psikologi yang memadai.
Satgas Perlindungan Anak dan Data Kekerasan Meningkat
Puan mendorong pembentukan Satuan Tugas Perlindungan Anak dan Remaja di Sekolah (Satgas PARS) yang melibatkan psikolog, tokoh masyarakat, dinas perlindungan anak, dan dinas pendidikan.
Satgas ini diharapkan mampu melakukan inspeksi berkala dan pendampingan terhadap sekolah-sekolah yang berada di zona rawan kekerasan.
Ia juga menyerukan pelatihan berkala bagi guru dan tenaga kependidikan untuk mendeteksi dini gejala gangguan psikososial, depresi, dan potensi kekerasan sosial di ruang kelas.
Berdasarkan data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), kekerasan di lingkungan pendidikan terus meningkat:
- 2020: 91 kasus
- 2021: 142 kasus
- 2022: 194 kasus
- 2023: 285 kasus
- 2024: 573 kasus (peningkatan lebih dari 100 persen dibanding 2023)
Data resmi untuk tahun 2025 masih menunggu rilis, namun tren peningkatan mengindikasikan krisis yang tidak bisa diabaikan.
Puan menegaskan bahwa tindakan bullying tidak boleh dinormalisasi dengan alasan kenakalan remaja.
"Pembenahan terstruktur harus segera dilakukan demi masa depan generasi bangsa," tegasnya menutup pernyataan.
- Penulis :
- Aditya Yohan