billboard mobile
HOME  ⁄  Nasional

Di Balik Dinding Penjara, Eks Napiter Abdul Haris Ungkap Penyesalan dan Titik Balik Hidupnya

Oleh Aditya Yohan
SHARE   :

Di Balik Dinding Penjara, Eks Napiter Abdul Haris Ungkap Penyesalan dan Titik Balik Hidupnya
Foto: (Sumber: Eks narapidana kasus terorisme Abdul Haris alias Amir Haris Falah saat menjadi pembicara di hadapan ratusan penggerak Desa Siapsiaga di Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon. (Syamsul Rizal))

Pantau - Suara azan dari sebuah langgar tua di sudut Kota Cirebon menjadi latar bagi Abdul Haris, mantan amir kelompok radikal Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), mengenang masa lalunya.

Pernah terbersit dalam pikirannya bahwa peluru adalah zikir paling suci dan nyawa orang lain adalah tiket menuju surga. Dalam kegelapan itu, ia merasa menggenggam bara yang ia sangka sebagai pelita.

Awal Keterlibatan Radikal

Keterlibatan Abdul Haris bermula pada tahun 1983, saat ia duduk di bangku kelas dua SMA di Jakarta Selatan.

Sosok yang memperkenalkannya pada paham radikal bukanlah pemuka agama, melainkan guru matematika.

Sejak saat itu, pikirannya dipenuhi doktrin yang belakangan ia sadari menyesatkan.

Dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits ia tafsirkan secara serampangan dan ekstrem.

Pandangannya tentang keislaman semakin menyempit; ia menganggap kafir orang-orang yang tidak mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapan kelompoknya, bahkan sesama Muslim pun kerap dianggap tidak beriman.

Ia kemudian terlibat dalam berbagai kelompok jihadis di Indonesia, antara lain Negara Islam Indonesia (NII), Majelis Mujahidin Indonesia (MII), dan JAT, yang seluruhnya memiliki tujuan melawan NKRI.

Puncak Keterlibatan Hingga Penjara

Dalam keyakinan sesatnya, menarik pelatuk senjata adalah bukti kesetiaan pada perjuangan.

Puncak keterlibatannya terjadi pada 2010 saat mengikuti pelatihan militer (i’dad) di Jantho, Aceh, bukan hanya sebagai peserta tetapi juga sebagai penyokong dana pelatihan.

Saat itu, ia menganggap perjuangannya adalah perang antar negara, bukan antar kelompok.

Namun peristiwa di Jantho menjadi akhir dari jalan panjang radikal yang ia tempuh selama 30 tahun.

Ia ditangkap Densus 88 Antiteror Polri dan dijatuhi hukuman 4,5 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Mei 2010 karena melanggar UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Titik Balik dan Penyesalan

Bagi Abdul Haris, penjara menjadi titik balik sekaligus sarana perenungan.

Azan yang dulu ia tafsirkan sebagai panggilan perang, kini ia pahami sebagai panggilan menuju kedamaian.

Ia mengaku menyesal dan bertekad menebus kesalahannya.

"Jadi, yang dulu saya rasa harus dibenci, harus saya musuhi, sekarang saya harus berubah, saya harus cintai negeri ini sebagai bagian dari amanah Allah dan menebus kesalahan yang saya lakukan," ucapnya.

Kisah Abdul Haris menjadi pengingat pentingnya kesiapsiagaan menghadapi potensi radikalisme, termasuk melalui media sosial, meski Indonesia kini telah meraih status Zero Terror Attack.

Penulis :
Aditya Yohan