Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Merawat Akal Sehat di Tengah Badai Informasi yang Tak Terverifikasi

Oleh Ahmad Yusuf
SHARE   :

Merawat Akal Sehat di Tengah Badai Informasi yang Tak Terverifikasi
Foto: (Sumber: Ilustrasi - Badai informasi buatan AI. ANTARA/Sizuka.)

Pantau - Di tengah derasnya arus informasi dari berbagai arah, menjaga akal sehat menjadi kebutuhan yang semakin mendesak untuk mencegah kekacauan pikiran akibat banjir informasi palsu dan bias.

Produksi informasi yang kian cepat dengan bumbu teknologi dan bias pribadi telah menciptakan kebingungan massal, menggiring masyarakat ke dalam gelombang disinformasi yang sulit dikendalikan.

Merawat akal sehat menjadi langkah krusial agar tidak tergulung dalam sampah informasi yang tersebar tanpa kendali.

Neil Postman dalam bukunya Amusing Ourselves to Death (1985) pernah mengingatkan, "Informasi yang berlimpah tanpa konteks hanya melahirkan kebingungan, bukan pengetahuan", ungkapnya.

Kondisi tersebut mencerminkan realitas hari ini, di mana informasi mengalir deras ke layar gawai tanpa proses konfirmasi dan verifikasi.

Pemanfaatan teknologi, termasuk kecerdasan buatan (artificial intelligence), jika tidak disertai etika dan moral, dengan mudah dapat menciptakan dan menyebarkan informasi palsu dalam skala besar.

Literasi Rendah dan Ancaman Brainrot

Masyarakat dengan tingkat literasi rendah menjadi kelompok paling rentan terhadap informasi dangkal, manipulatif, dan hasil rekayasa digital.

Informasi semacam ini menyebar luas melalui media sosial dan dapat berdampak negatif terhadap kesehatan mental jika dikonsumsi tanpa kemampuan berpikir kritis.

Seperti halnya tubuh fisik bergantung pada makanan, pikiran manusia juga sangat bergantung pada jenis dan kualitas informasi yang dikonsumsi setiap hari.

Akses terhadap informasi yang sangat mudah hari ini seharusnya diimbangi dengan kemampuan literasi yang memadai.

Jika tidak, maka ancaman kerusakan kognitif seperti brainrot menjadi risiko nyata yang mengintai banyak orang.

Data dari We Are Social yang dipublikasikan melalui DataReportal pada awal 2025 mencatat bahwa:

Sebanyak 212 juta jiwa atau 74,6% populasi Indonesia telah menjadi pengguna internet.

Sementara itu, 143 juta di antaranya aktif di media sosial, setara dengan 50,2% dari total penduduk.

Tercatat juga terdapat 356 juta koneksi seluler aktif atau setara 125% dari populasi, menunjukkan banyaknya individu yang memiliki lebih dari satu koneksi.

Fakta ini mengindikasikan bahwa tiga dari empat orang Indonesia telah terhubung ke internet, dan setengah dari penduduk aktif menggunakan media sosial.

Namun, tidak semua pengguna media sosial memiliki kapasitas berpikir kritis untuk memilah informasi yang mereka konsumsi.

Pengguna media sosial tidak hanya menjadi konsumen, tetapi juga produsen informasi — menciptakan dan menyebarkan konten tanpa proses penyaringan.

Akibatnya, jutaan konten yang dibuat dan disebarkan secara asal-asalan dapat menimbulkan kerusakan besar pada struktur berpikir publik.

Media Sosial dan Ketiadaan Gatekeeper

Wakil Menteri Komunikasi dan Digital, Nezar Patria, menyampaikan bahwa media arus utama memiliki tanggung jawab sebagai penjernih informasi.

Ia menekankan bahwa perbedaan utama antara media massa dan media sosial terletak pada proses verifikasi.

“Jurnalis profesional wajib melakukan verifikasi, sedangkan pembuat konten di media sosial tidak,” ia mengungkapkan.

Tidak adanya gatekeeper atau penjaga pintu informasi di media sosial menyebabkan konten menyebar secara acak, liar, dan sulit dikendalikan.

Untuk mendapatkan informasi yang valid dan bergizi bagi pikiran, masyarakat dianjurkan untuk mengakses media resmi yang telah melalui proses verifikasi.

Sayangnya, sebagian besar masyarakat justru lebih memilih informasi cepat dan instan di media sosial, dibandingkan mencari dari sumber resmi yang kredibel.

Penulis :
Ahmad Yusuf
Editor :
Ahmad Yusuf