
Pantau.com - Pengamat terorisme Ali Fauzi mengungkapkan, modus penyerangan yang digunakan pelaku terhadap Menko Polhukam Wiranto di Pandeglang, Banten pada 10 Oktober 2019, bukan lah hal yang baru.
"Bulan lalu di Surabaya juga sama, oknum melakukan penyerangan terhadap anggota polisi di Polsek Wonokromo. Sekarang bergeser ke barat, ke Banten, malah yang diserang adalah aparat yang lebih tinggi. Ini bukan hal baru," ujar Ali Fauzi dikonfirmasi di Surabaya, Jumat (11/10/2019).
Berdasarkan hasil analisanya, ada perubahan tren penyerangan terorisme dibandingkan dengan kasus lebih lama.
Baca Juga: Mengenal Sosok Syahril Alamsyah, Salah Satu Penusuk Wiranto di Banten
Ali membagi aksi terorisme di Indonesia menjadi dua, yakni yang dilakukan mulai 2000 hingga 2010, dominan pelakunya adalah Jamaah Islamiyah (JI) dengan sasaran simbol barat, hotel, turis asing dan lain-lain.
Kemudian 2010 hingga saat ini, pelaku didominasi oleh mereka yang terafiliasi ISIS, seperti Jamaah Ansharud Daulah (JAD) dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT). Tren penyerangan yang dilakukan juga berubah, bahkan penyerangan seperti saat ini, hampir tidak terjadi di 2000 hingga 2010.
"Dulu banyak melakukan cara kasar, bom mobil, bom rompi, jumlah korban juga bisa ratusan orang. Belakangan bergeser. Serangannya bervariasi. Kadang pakai bom tapi kecil, kadang melakukan perampokan, sering juga melakukan penyerangan terhadap polisi," ucap pria kandidat doktor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) itu.
Selain aksi terorisme yang berubah, lanjut dia, doktrin dan ideologi yang dianut pelaku teror juga berbeda, yaitu kelompok lama yang didominisi JI pemikirannya lebih halus daripada kelompok sekarang.
Baca Juga: Pelaku Penusukan Menko Polhukam Wiranto Dikenal Jago IT
Ia mengatakan, kelompok lama pemikiran takfiri terhadap pemerintah lebih halus, dan lebih menyasar pada takfir aini atau per individu. "Sementara kelompok ISIS pengafiran secara menyeluruh. Bahwa semua aparat pemerintah kafir. Seluruh komponen yang mendukung NKRI kafir dan boleh dibunuh," kata mantan teroris itu.
Ali berpendapat, penyerangan terhadap aparatur negara tersebut tidak bisa dikatakan konyol, sebab dilakukan seperti itu karena kemampuan mereka yang terbatas.
"Bisa saja mereka terlebih dahulu terkontaminasi paham jihad yang susah membendung sehingga semangat lebih besar dari kemampuan. Mereka belum pernah belajar cara peledakan, akhirnya apapun cara dan bagaimana kemampuan tetap menyerang. Yang penting eksistensi mereka ada," tandasnya.
- Penulis :
- Bagaskara Isdiansyah