Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Irjen Napoleon Didakwa Terima Suap Rp6,1 Miliar dari Djoko Tjandra

Oleh Noor Pratiwi
SHARE   :

Irjen Napoleon Didakwa Terima Suap Rp6,1 Miliar dari Djoko Tjandra

Pantau.com - Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Inspektur Jenderal Napoleon Bonaparte didakwa menerima suap SDG200 ribu dan USD270 dolar AS. Sedangkan bekas Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan (Kakorwas) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo didakwa mendapat USD150 ribu dari Djoko Tjandra.

Bila dikonversi ke rupiah, Napoelon mendapatkan sekitar Rp6,1 miliar dan Prasetijo mendapatkan sekitar Rp2,2 miliar sehingga totalnya mencapai sekitar Rp8,3 miliar dari terpidana kasus cessie Bank Bali Djoko Soegiarto Tjandra.

"Terdakwa Inspektur Jenderal Polisi Napoleon Bonaparte sebagai Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri telah menerima 200 ribu dolar Singapura dan 270 ribu dolar AS dan Brigjen Pol Prasetijo Utomo selaku Kepala Biro Koordinator Pengawas PPNS Bareskrim Polri menerima uang 150 ribu dolar AS dari Djoko Soegiarto Tjandra melalui Tommy Sumardi," kata jaksa penuntut umum Kejaksaan Agung Zulkipli di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (2/11/2020).

Tujuan pemberian uang tersebut adalah agar Napoleon Bonaparte dan Prasetijo Utomo menghapus nama Djoko Soegiarto Tjandra dari Daftar Pencarian Orang (DPO) yang dicatatkan di Direktorat Jenderal Imigrasi.

Djoko Tjandra adalah terpidana kasus korupsi Bank Bali yang dijatuhi hukuman pidana penjara selama 2 tahun dan denda Rp15 juta subsider 3 bulan.

Sekretaris National Central Bureau (NCB) INTERPOL Indonesia pada Divhubinter Polri yang dijabat Brigjen Pol Setyo Wasisto pun membuat surat perihal DPO Djoko Tjandra alias Joe Chan sebagai warga negara Papua Nugini kepada Direktur Jenderal Imigrasi tertanggal 12 Februari 2015.

Baca juga: Pengakuan Boyamin Soal Uang 100 Dolar Singapura Terkait Kasus Djoko Tjandra

Kemudian pada sekitar April 2020 Djoko Tjandra menghubungi rekannya Tommmy Sumardi membicarakan cara agar dirinya bisa masuk ke Indonesia untuk mengajukan PK atas kasus korupsi Bank Bali karena dirinya mendapat informasi bahwa "Interpol Red Notice" atas dirinya telah dibuka Interpol Pusat di Lyon, Prancis.

Agar Djoko Tjandra dapat masuk ke Indonesia, maka ia bersedia memberikan uang Rp10 miliar melalui Tommy Sumardi untuk diberikan kepada pihak-pohak yang turut mengurus kepentingannya masuk ke Indonesia, terutama kepada pejabat di NCB INTERPOL Indonesia pada Divisi Hubungan Internasional Polri.

Tommy lalu menemui Prasetijo Utomo di kantornya pada Biro Koordinasi dan Pengawasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Badan Reserse Kriminal Polri, kemudian Prasetijo memperkenalkan Tommy kepada Irjen Napoleon Bonaparte selaku Kadivhubinter Polri.

"Terdakwa Napoleon Bonaparte menyampaikan bahwa 'Red Notice Djoko Tjandra bisa dibuka, karena Lyon yang buka, bukan saya. Saya bisa buka, asal ada uangnya'. Kemudian Tommy Sumardi menanyakan berapa (nominal uangnya) dan oleh Napoleon Bonaparte, dijawab '3 lah ji (3 miliar)'. Setelah itu Tommy Sumardi meninggalkan ruangan Kadivhubinter," tambah jaksa.

Joko Tjandra lalu meminta sekretarisnya, Nurmawan Fransisca, untuk mengambil uang USD100 ribu dan diserahkan kepada Tommy Sumardi pada 27 April 2020. Pada hari yang sama, Tommy dan Prasetijo berangkat untuk menemui dan menyerahkan uang ke Napoleon Bonaparte.

"Saat di perjalanan di dalam mobil, Prasetijo Utomo melihat uang yang dibawa oleh Tommy Sumardi, kemudian mengatakan 'banyak banget ini ji buat beliau? Buat gw mana?' dan saat itu uang dibelah 2 oleh Prasetijo Utomo dengan mengatakan 'ini buat gw, nah ini buat beliau sambil menunjukkan uang yang sudah dibagi 2'," tambah jaksa.

Setiba di ruangan Kadihubinter, Tommy menyerahkan sisa uang yang ada sebanyak USD50 ribu namun Napoleon Bonaparte mau menerima uang dengan nominal tersebut.

"Dengan mengatakan 'Ini apaan nih segini, ga mau saya. Naik ji jadi 7 ji soalnya kan buat depan juga, bukan buat saya sendiri. Yang nempatin saya kan beliau dan berkata 'petinggi kita ini'," ungkap jaksa.

Akhirnya Tommy dan Prasetijo pun meninggalkan gedung TNCC Mabes Polri dengan membawa "paper bag" warna gelap. Sehingga pada 28 April 2020, Djoko Tjandra kembali meminta sekretarisnya menyerahkan SDG200 ke Tommy Sumardi. Tommy lalu menemui Napoleon pada hari yang sama di kantornya dan menyerahkan uang SDG200 kepada Napoleon Bonaparte.

Pada 29 April 2020, kembali Djoko Tjandra meminta sekretarisnya menyerahkan USD100 ribu kepada Tommy. Tommy lalu kembali menemui Napoleon di ruang Kadivhubinter gedung TNCC Mabes Polri lantai 11 dan menyerahkan uang USD100 ribu tersebut.

Setelah menerima uang tersebut, Napoleon memerintahkan anak buahnya Kombes Tommy Aria Dwianto untuk membuat surat ke Imigrasi yang ditandatangani atas nama Kadivhubinter Polri Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigjen Pol. Nugroho Slamet Wibowo.

Isi surat tersebut pada pokoknya menginformasikan bahwa Sekretariat NCB Interpol Indonesia pada Divhubinter Polri sedang melakukan pembaharuan sistem database DPO yang terdaftar dalam Interpol Red Notice melalui jaringan I-24/7 dan diinformasikan bahwa data DPO yang diajukan oleh Divhubinter Polri kepada Ditjen Imigrasi sudah tidak dibutuhkan lagi.

Pada 4 Mei 2020, Djoko Tjandra kembali meminta sekretarisnya memberikan uang 150 ribu dolar AS kepada Tommy. Tommy lalu menemui Prasetijo Utomo dan keduanya menemui Napoleon, dalam pertemuan itu Tommy menyerahkan uang USD150 ribu ke Napoleon.

Setelah menerima uang tersebut, Napoleon memerintahkan anak buahnya Kombes Pol. Tommy Aria Dwianto untuk membuat surat yang ditandatangani oleh An. Kadivhubinter Polri Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigjen Pol. Nugroho Slamet Wibowo untuk Ditjen Imigrasi Kemenkumham yang berisi penghapusan "Interpol Red Notice".

Pada 5 Mei 2020, Tommy dan Prasetijo kembali menemui Napoleon di kantornya dan menyerahkan uang sejumlah USD20 ribu kepada Napoleon. Setelah mendapat uang, Napoleon kembali membuat surat perihal penyampaikan penghapusan "Interpol Red Noices" atas nama Joko Soegiarto Tjandra Control No.: A-1897/7-2009 telah terhapus dari sistem basis data Interpol sejak tahun 2014 (setelah 5 tahun).

Setelah surat itu diterbitkan Prasetijo menghubungi Tommy Sumardi melalui telepon dan mengatakan 'Ji, sudah beres tuh, mana nih jatah gw punya' dan dijawab oleh Tommy Sumardi 'sudah, jangan bicara ditelepon, besok saja saya ke sana.

Tommy lalu bertemu Prasetijo keesokan harinya di kantornya dan memberikan USD50 ribu kepada Prasetijo sehingga total uang yang diserahkan Tommy kepada Prasetijo adalah USD100 ribu.

Baca juga: Hakim Tolak Eksepsi Jaksa Pinangki Sirna Malasari

Napoleon pada 8 Mei 2020 lalu meminta anak buahnya Kombes Pol. Tommy Aria Dwianto membuat surat untuk Anna Boentara yang menerangkan bahwa setelah dilakukan pemeriksaan pada Police Data Criminal ICPO Interpol didapatkan hasil Djoko Soegiarto Tjandra tidak lagi terdata sebagai subjek Red Notice ICPO Interpol, Lyon, Perancis.

Pada 12 Mei 2020, Djoko Tjandra kembali meminta sekretarisnya menyerahkan uang USD100 ribu kepad Tommy. Pada 22 Mei 2020, Djoko Tjandra kembali meminta sekretarisnya untuk menyerahkan uang USD50 ribu kepada Tommy sehingga total uang yang diserahkan Joko Tjandra ke Tommy Sumardi adalah USD500 ribu dan SDG200.

Akibat permintaan dari Divhubinter Mabes Polri kepada kepada Ditjen Imigrasi Kemenkumham itu maka Kepala Seksi Pencegahan Subdit Cegah Tangkal Dirwasdakim pada Ditjen Imigrasi Ferry Tri Ardhiansyah melakukan penghapusan status DPO Joko Soegiarto Tjandra dari sistem ECS pada SIMKIM Ditjen Imigrasi dan digunakan oleh Joko Tjandra untuk masuk wilayah Indonesia dan mengajukan PK pada Juni 2020 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Atas penerimaan uang tersebut, Napoleon Bonaparte dan Prasetijo Utomo diancam pidana dalam pasal 5 ayat 2 jo pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau pasal 11 atau pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b UU No 31 tahun 1999 sebagaimana idubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Pasal mengatur mengenai bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji dapat dipidana paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun. Atas dakwaan tersebut, Napoleon akan mengajukan nota keberatan (eksepsi) pada 9 November 2020.

Penulis :
Noor Pratiwi