Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Alasan DPR Terkait Lambannya Pengesahan RUU Terorisme

Oleh Adryan N
SHARE   :

Alasan DPR Terkait Lambannya Pengesahan RUU Terorisme

Pantau.com - Politisi Gerindra sekaligus Ketua Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang (RUU) Terorisme Muhammad Syafi'i tak terima DPR disalahkan atas keterlambatan pengesahan RUU Terorisme.

Syafi'i mengatakan, lambannya proses pengesahan RUU Terorisme disebabkan pemerintah dengan berbagai pertimbangan harus berkali-kali rapat dengan DPR untuk menyamakan pemikiran, karena ditemukan berbagai peraturan baru dalam RUU Terorisme.

"Karenanya banyak hal baru yang muncul dalam diskusi, pemerintah membutuh waktu dalam menyusun redaksi, butuh waktu cukup dan ini menilai pembahasan," ujar Syafi'i di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat, 18 Mei 2018.

Baca juga: Polisi Beberkan Hasil Identifikasi Pelaku Teror Bom Sidoarjo

Pemerintah dalam hal ini Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT), Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM), dan TNI awalnya hanya berisi persoalan penindakan saja, namun DPR menginginkan pasal meliputi Pencegahan, Penindakan, dan Pemulihan. Oleh karenanya itu, akhirnya pemerintah harus kembali menyusun redaksional peraturan

Syafi'i menambahkan, hal alot lainnya adalah Fraksi Gerindra memprotes soal adanya pasal Guantanamo dalam RUU Terorisme, karena menurut Syafi'i pasal itu membuat pemerintah dapat menangkap orang tanpa bukti yang cukup dengan masa penahanan 28 hari, padahal itu melanggar HAM.

"Karenanya kita tetap pakai bukti permulaan cukup, penahanan selama 14 hari, kalau ingin diperpanjang masa penahanan harus dapat putusan pengadilan. Mereka harus didampingi pengacara," kata Syafi'i.

Baca juga: DPR Janjikan RUU Terorisme Rampung dalam Waktu Satu Pekan

Terdapat perdebatan alot antara DPR khususnya Gerindra kepada pemerintah, namun akhirnya pemerintah berhasil mengerti. Terkait pemulihan, DPR juga menuntut Pemerintah terhadap korban teroris agar menjadi tanggung jawab negara, baik cacat fisik maupun psikologi.

"Kita sangat panjang, DPR berhasil memutuskan, sejak bom Bali korban belum diurus pemerintah, itu pun dapat hak pelayanan medis psiko-sosial setelah undang-undang ini disahkan," katanya.

Banyaknya poin yang disebut Syafi'i membuat pemerintah meminta untuk memundurkan waktu penyelesaian redaksional, saat pemerintah selesai, DPR memasuki masa reses. Saat itulah berondongan kasus teror terjadi sejak di Mako Brimob, Surabaya, Sidoarjo, hingga Riau.

"Banyak surat pemerintah minta penundaan pembahasan, benturan tugasnya tim dari KUHP jadi letaknya pada pemerintah (bukan DPR)," katanya.

Penulis :
Adryan N