
Pantau.com - Kenaikan suku bunga acuan "7-Day Reverse Repo Rate" oleh Bank Indonesia dinilai bisa menjadi pilihan pertama dan paling memungkinkan untuk menjaga nilai rupiah agar tidak melemah lebih dalam dari nilai fundamentalnya.
Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja mempertimbangkan untuk menaikkan suku bunga acuan pada rapat dewan gubernur, hari ini, Rabu (15/8/2018), sebagai langkah antisipatif menghadapi tekanan eksternal yang akan lebih kuat lagi menjelang kenaikan suku bunga The Federal Reserve AS pada September 2018.
"Bisa menjadi pertimbangan untuk antisipasi tekanan eskternal. The Fed juga akan naikkan bunga 0,25 persen," ujarnya.
Baca juga: Bankir Sarankan BI Harus 'Santai' Naikkan Suku Bunga Acuan
Saat ini bunga Federal Reserve, Bank Sentral AS, sebesar 1,75-2 persen. Menurutnya, dampak dari gejolak sistem keuangan di Turki juga tidak bisa disepelekan oleh Indonesia.
Nilai hubungan ekonomi antara Indonesia dan Turki yang antara lain dicerminkan dari kerja sama perdagangan tidak begitu besar.
Oleh karena itu, dampak negatif gejolak perekonomian Turki tidak akan langsung signifikan terhadap perekonomian domestik.
Baca juga: Investasi Kuartal II 2018 Anjlok, Ini Kata Sri Mulyani
Namun, pasar keuangan global saat ini sudah sedemikian terhubung. Tekanan sistem keuangan di Turki bisa berdampak pada pelemahan mata uang negara-negara yang masih memiliki ketergantungan terhadap modal asing seperti halnya Indonesia.
Sederhananya, lanjut Jahja, ketika terjadi gejolak perekonomian di sebuah negara, maka investor akan bereaksi dan menyelamatkan investasinya ke instrumen-instrumen yang paling minim risiko.
Aset berdenominiasi rupiah belum dianggap sebagai aset yang paling minim risiko. Maka itu, pasar keuangan Indonesia dengan kepemilikan asing yang masih cukup besar akan sangat mudah terpengaruh ketika investor global mulai panik.
- Penulis :
- Nani Suherni