Pantau Flash
HOME  ⁄  Ekonomi

Tiga Strategi Hadapi Perang Dagang: Diplomasi Aktif, Diversifikasi Ekspor, dan Penguatan Industri Padat Karya

Oleh Pantau Community
SHARE   :

Tiga Strategi Hadapi Perang Dagang: Diplomasi Aktif, Diversifikasi Ekspor, dan Penguatan Industri Padat Karya
Foto: Indonesia siapkan strategi negosiasi dan perlindungan domestik hadapi dampak perang dagang global jilid II.

Pantau - Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menyatakan bahwa Indonesia dapat meminimalkan dampak dari potensi perang dagang jilid II dengan menerapkan tiga strategi utama: diplomasi aktif, diversifikasi pasar ekspor, dan penguatan daya saing industri padat karya.

"Indonesia berpotensi terdampak dalam jangka pendek melalui pelemahan ekspor dan tekanan pasar keuangan, namun bisa mengurangi risiko melalui diplomasi aktif, diversifikasi pasar ekspor, dan penguatan daya saing industri padat karya di tengah turbulensi global", ujar Josua.

Strategi ini dirancang untuk meredam risiko pelemahan ekonomi global yang dipicu oleh kebijakan tarif resiprokal dari Presiden AS Donald Trump.

Pemerintah Ambil Jalur Negosiasi dan Perkuat Industri Domestik

Pemerintah Indonesia saat ini menempuh jalur negosiasi strategis dengan Amerika Serikat melalui lima poin utama, yaitu relaksasi kewajiban TKDN untuk industri teknologi informasi, evaluasi pembatasan perdagangan, percepatan sertifikasi halal untuk produk AS, peningkatan impor agrikultur dan migas dari AS, serta pemberian insentif bagi produk AS sambil menjaga ekspor nasional.

Langkah ini diiringi dengan strategi perlindungan kepentingan domestik, terutama melalui diversifikasi tujuan ekspor ke negara-negara seperti Mesir dan Nigeria, serta memanfaatkan peluang dari negara yang terdampak tarif tinggi, khususnya di sektor elektronik, alas kaki, dan garmen.

Untuk memperkuat industri padat karya, pemerintah melakukan deregulasi besar-besaran dan memasukkan program padat karya ke dalam Proyek Strategis Nasional (PSN).

Sektor tekstil dan produk tekstil menjadi prioritas karena menyerap hampir empat juta tenaga kerja dan mencatatkan ekspor lebih dari dua miliar dolar AS.

Revitalisasi Industri dan Ancaman Resesi Global

Sebagai bagian dari penguatan industri, pemerintah menyiapkan paket revitalisasi mesin produksi berupa kredit investasi senilai Rp20 triliun dengan subsidi bunga lima persen selama delapan tahun untuk sektor padat karya seperti tekstil, sepatu, makanan minuman, dan furnitur.

Sementara itu, perang dagang kian memanas setelah AS menetapkan tarif hingga 104 persen terhadap barang-barang impor dari China, terdiri dari bea tambahan 20 persen, tarif resiprokal 34 persen, dan tarif tambahan 50 persen.

Josua menilai hal ini sebagai eskalasi serius yang dapat memicu spiral proteksionisme dan meningkatkan risiko resesi global dari 40 persen menjadi 60 persen.

Dampaknya terlihat dari kejatuhan bursa saham global, lonjakan indeks volatilitas (VIX), serta penurunan harga komoditas seperti minyak, tembaga, dan nikel.

IMF dan OECD memperkirakan perang dagang berkepanjangan bisa memangkas PDB global hingga 5,5 persen dan meningkatkan inflasi global hingga tiga persen.

Posisi Indonesia Masih Relatif Terkendali

Eksposur langsung Indonesia terhadap pasar AS hanya sekitar dua persen dari PDB, namun dampak tidak langsung cukup signifikan terutama pada sektor tekstil, pakaian jadi, alas kaki, dan elektronik.

Efek lainnya meliputi depresiasi rupiah, arus keluar modal, imported inflation, dan penurunan daya beli domestik.

Meski begitu, posisi Indonesia masih lebih baik dibanding negara seperti Vietnam dan Bangladesh yang lebih bergantung pada ekspor ke AS dan dikenakan tarif lebih tinggi.

"Pemerintah Indonesia juga tidak mengambil jalur retaliasi, melainkan memilih pendekatan negosiasi strategis, termasuk dengan menawarkan peningkatan impor dari AS, deregulasi hambatan non tarif, dan insentif fiskal untuk menjaga keseimbangan neraca dagang", tutup Josua.

Penulis :
Pantau Community