
Pantau - Nilai tukar rupiah dibuka melemah pada perdagangan Selasa, 19 Agustus 2025, turun sebesar 32,50 poin atau 0,20 persen menjadi Rp16.230 per dolar Amerika Serikat (AS), dibandingkan posisi sebelumnya di Rp16.198 per dolar AS.
Pelemahan rupiah terjadi seiring meningkatnya kewaspadaan pasar terhadap potensi sikap hawkish Ketua Federal Reserve, Jerome Powell, dalam sejumlah agenda penting pekan ini.
Analis Doo Financial Futures, Lukman Leong, menjelaskan bahwa pasar global tengah mengantisipasi pernyataan Powell dalam risalah Federal Open Market Committee (FOMC) dan Simposium Jackson Hole yang dijadwalkan berlangsung pada 21–23 Agustus 2025 di Amerika Serikat.
“Rupiah diperkirakan akan melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang rebound oleh antisipasi pidato hawkish Powell dalam beberapa kesempatan pekan ini, di antaranya risalah FOMC dan Jackson Hole,” ungkap Lukman.
Pasar Waspadai Kebijakan The Fed dan Geopolitik Global
Meskipun data FedWatch CME menunjukkan probabilitas sebesar 83 persen bahwa The Fed akan memangkas suku bunga pada pertemuan bulan September 2025, pelaku pasar masih bersikap hati-hati.
Hal ini disebabkan oleh sinyal sikap hawkish yang masih muncul dari pernyataan pejabat The Fed menjelang pertemuan resmi mereka.
Dari sisi geopolitik, ketegangan global turut memberi tekanan pada pasar keuangan.
Pertemuan antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin pada Jumat, 15 Agustus 2025, tidak membuahkan kesepakatan gencatan senjata terkait perang di Ukraina.
Bahkan sebelumnya, pada Rabu, 13 Agustus, Trump mengancam akan memberikan “konsekuensi berat” jika Rusia menolak usulan perdamaian, termasuk kemungkinan pengenaan tarif tinggi terhadap India dan China sebagai pembeli utama minyak Rusia.
Analis memperingatkan bahwa pembatasan ekspor energi dari Rusia bisa memperburuk krisis pasokan global, terutama di Eropa dan sebagian Asia yang masih sangat bergantung pada pasokan energi dari Moskow.
Ekonomi China Melemah, Tekan Sentimen Kawasan Asia
Dari kawasan Asia, pelambatan ekonomi China turut membebani sentimen pasar.
Data Biro Statistik Nasional (NBS) China menunjukkan bahwa hampir seluruh sektor, termasuk aktivitas pabrik, investasi, dan penjualan ritel mengalami perlambatan pada Juli 2025.
Produksi pabrik dan tambang hanya tumbuh 5,7 persen secara tahunan (yoy), menjadi yang terendah sejak November 2025, dan berada di bawah proyeksi serta realisasi bulan Juni sebesar 6,8 persen.
Pelambatan ini dipengaruhi oleh pengetatan kebijakan perang harga oleh pemerintah Tiongkok serta dampak lanjutan dari tarif impor yang diberlakukan Presiden Trump.
ULN Indonesia Menurun, Tapi Belum Jadi Penyangga Kuat
Dari dalam negeri, Bank Indonesia mencatat Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia per Juni 2025 sebesar 433,3 miliar dolar AS atau setara Rp6.976,1 triliun, turun dari Rp7.100,28 triliun pada Mei 2025.
Tingkat pertumbuhan ULN juga melambat menjadi 6,1 persen (yoy) di kuartal II-2025 dari sebelumnya 6,4 persen di kuartal I-2025.
Penurunan ini terutama disebabkan oleh kontraksi pada ULN sektor swasta.
Komposisi ULN pemerintah untuk periode April–Juni 2025 tercatat sebesar 210,1 miliar dolar AS atau sekitar Rp3.382,6 triliun.
Namun penurunan ULN belum cukup kuat untuk menjadi penopang rupiah di tengah tekanan global yang kian kompleks.
Sementara itu, kurs referensi JISDOR Bank Indonesia pada Jumat, 15 Agustus, tercatat di level Rp16.162 per dolar AS, masih menunjukkan kecenderungan pelemahan nilai tukar.
- Penulis :
- Aditya Yohan