
Pantau.com - Buat milennials yang memiliki jiwa petualang pasti kadang suka berfikir tantangan untuk mencoba pekerjaan baru. Tak sedikit diantara mereka yang juga memilih bekerja di luar negeri.
Tapi, kota mana yang layak dituju untuk mencari pekerjaan? Dikutip BBC, Global Metro Monitor yang disusun lembaga kajian The Brookings Institution menempatkan Dublin yakni ibu kota Irlandia pada peringkat atas. Perhitungannya cukup mudah yakni, banyak perusahaan yang berada di sana, termasuk bank.
Sementara, Oxford Economics memilih Tripoli ibu kota Libya. Setidaknya berdasarkan teori ekonomi di kota tersebut paling cepat berkembang pada 2019. Meski demikian, risiko di Tripoli cukup tinggi karena keadaan keamanan Libya yang tegang.
Baca juga: Suara Para Pengusaha Pasca Debat Perdana Pilpres 2019
Lalu kota mana yang pertumbuhannya paling signifikan, dapat dihitung, dan berkesinambungan?
"Dalam berbagai konteks, Bangalore di India merupakan kota tersebut. Pertumbuhan kota itu amat mungkin yang paling cepat. Kami memprediksi pertumbuhan PDB Bangalore mencapai 10,5 persen pada 2019, itupun setelah penyesuaian inflasi," kata Richard Holt, kepala Riset Kota-Kota Global dari lembaga Oxford Economics.
Versi Silicon Valley di India adalah tempat perusahaan-perusahaan teknologi terbesar setempat bermarkas. Banyak perusahaan multinasional juga berkantor di sana guna memanfaatkan gabungan pengetahuan teknis dan efisiensi biaya. Bangalore juga tergolong bagus dalam sektor manufaktur yang bertumbuh pesat, termasuk bioteknologi dan antariksa.
Baca juga: Senior Sri Mulyani Angkat Bicara Soal Buruknya Neraca Perdagangan RI
Kota ini sudah lama menjadi pusat utama pertumbuhan India, namun kiprahnya boleh jadi lebih dahsyat pada tahun ini.
"Secara keseluruhan hasilnya adalah lebih banyak pekerjaan dan gaji lebih besar. Konsekuensinya belanja konsumen di kota dapat meningkat 10 persen atau lebih dalam konteks sebenarnya pada 2019," jelas Holt.
"Sebagian besar belanja itu akan kembali berputar mendorong ekonomi kota tersebut. Dan, meskipun biaya naik yang pada akhirnya bisa membahayakan siklus ini, itu mungkin terjadi dalam beberapa tahun atau dekade-dekade mendatang," tutup Holt.
Zhongshan, Untung atau rugi?
Kota Zhongshan-southern metropolis daily/getty image
Pada Desember 2018, Amerika Serikat dan Cina sepakat menggelar 'gencatan senjata' selama 90 hari dalam 'perang dagang' agar perundingan bisa meredam aksi saling balas bea masuk yang terjadi beberapa kali selama tahun lalu.
Kalaupun perundingan itu menghasilkan kemajuan—sepertinya tidak—AS sudah menerapkan bea masuk terhadap barang-barang Cina senilai US$250 miliar atau sekitar Rp3.500 triliun sejak Juli 2018.
Adapun Cina membalas dengan menerapka bea masuk terhadap produk-produk AS senilai US$110 miliar atau Rp1.500 triliun.
Baca juga: Tahan Dulu Pakai Alipaynya, Sabar.... Bentar Lagi Legal Ko
Basis-basis manufaktur untuk ekspor di sepanjang pesisir Cina amat mungkin menjadi kawasan-kawasan yang benar-benar merasakan dampaknya ketika produk mereka menjadi lebih mahal untuk konsumen AS. Itu termasuk Zhongshan, kata Deborah Elms selaku direktur eksekutif Asian Trade Centre.
Zhongshan terletak dekat perbatasan Makau, di Provinsi Guangdong, yang merupakan pusat manufaktur dan teknologi Cina. Seluruh Provinsi Guangdong, dengan penduduk lebih dari 100 juta orang, akan sangat merasakan dampak ketegangan AS-Cina terutama pada perdagangan dan investasi asing.
Baca juga: DME Siap Gantikan LPG, Kompor di Rumahmu akan Berubah
Sebuah survei Kamar Dagang AS mengindikasikan sebanyak 70 persen perusahaan AS yang beroperasi di Guangdong menunda investasi atau bahkan mempertimbangkan angkat kaki. Lalu mengapa Zhongshan penting?
"Lebih dari 70 persen dari ekspor mereka ke AS kini terkena bea masuk. Mereka mengekspor mesin-mesin, yang merupakan kategori produk terbesar yang dikirim dari Cina ke AS sehingga kota itu menjadi barometer penting terkait sengketa dagang pada 2019," kata Elms.
- Penulis :
- Nani Suherni