
Pantau.com - Untuk pertama kalinya, setelah dua tahun pemimpin pemberontak di Sudan Selatan Riek Machar kembali ke Ibu Kota Juba dengan membawa pesan perdamaian.
Machar kembali sebagai wakil presiden. Sebelumnya ia melarikan diri saat pakta perdamaian pada Juli 2016 lalu.
"Pesan kami hanya satu, yakni untuk perdamaian. Kedamaian di hati kita semua untuk melaksanakan perjanjian ini," ucap Matchar saat upacara menyambut kesepakatan perdamaian untuk negaranya yang dilanda perang.
Perjanjian tersebut bertujuan untuk mengakhiri perang saudara yang telah terjadi di negara paling baru di dunia pada November 2013 lalu yang mengakibatkan sekitar empat juta penduduknya mengalami krisis kemanusiaan, sepertiga dari populasi negara tersebut.
Kepala pemberontak itu disambut di bandar udara oleh Presiden Salva Kiir, mantan sekutu Machar yang menjadi musuh.
Keduanya kemudian bergabung dengan pemimpin daerah untuk melakukan upacara menyambut perjanjian perdamaian, yang ditandatangani di bawah tekanan pihak internasioanl pada 12 Agustus di Ibu Kota Addis Ababa, Ethiopia.
Baca juga: PBB Tuntut Gencatan Senjata Kemanusiaan di Yaman Guna Hindari Kelaparan
"Saya ingin mengulangi di depan publik, bahwa perang saudara di Sudan telah benar-benar berakhir," ucap Kiir, seperti dikutip AFP, Kamis (1/11/2018).
Perang saudara di Sudan terjadi ketika Kiir, anggota suku Dinka, menuduh wakilnya Machar, seorang Nuer, merencanakan kudeta terhadap dirinya.
Konflik tersebut terjadi di berbagai daerah dengan garis etnis tersebut dan telah menyebabkan pemerkosaan massal, serta perekrutan paksa anak-anak menjadi tentara, bahkan penyerangan terhadap warga sipil.
Konflik tersebut menyebabkan krisis kemanusiaan terbesar di dunia dan merusak perekonomian di negara yang bergantung pada produksi minyak tersebut.
Machar melarikan diri tahun 2016 setelah pertempuran sengit antara pasukan pemerintah dan pasukan pemberontaknya, yang membunuh ratusan orang.
Machar melarikan diri ke Republik Demokratik Kongo dan ke pengasingan di Afrika Selatan.
Beberapa kesepakatan gencatan senjata serta pakta kedamaian telah gagal untuk mengakhiri perang, yang menewaskan sekitar 380.000 orang. Menumbangkan empat juta orang, dan memicu krisis kelaparan di negaranya.
Baca juga: AS-PBB Melakukan Pertemuan Guna Bahas Krisis Kemanusian di Yaman
- Penulis :
- Noor Pratiwi