
Pantau - Bangladesh terus memantau wilayah perbatasannya dengan Myanmar lebih ketat. Sedikitnya 18.000 Muslim Rohingya melintasi perbatasan dalam beberapa bulan terakhir demi menghindari kekerasan di negara bagian Rakhine, Myanmar.
Pengungsi Rohingya masuk dari Myanmar meningkat seiring eskalasi konflik antara pasukan junta yang berkuasa dengan Tentara Arakan, milisi etnis berkuasa yang direkrut dari mayoritas Buddha.
“Ribuan warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh dan banyak yang masih menunggu untuk menyeberang. Situasinya mengerikan,” ungkap seorang pejabat Kementerian Luar Negeri Bangladesh, yang enggan disebutkan namanya lantaran tak berwenang memberikan keterangan kepada media.
Para pengungsi Rohingya yang baru tiba ini menambah jumlah pendatang yang sudah lebih dari 1 juta orang dalam kamp yang penuh sesak di distrik Cox's Bazar, sejak mereka kabur dari aksi penindasan oleh militer Myanmar pada 2017.
Baca juga: AS Dukung Penyintas di Peringatan 7 Tahun 'Hari Genosida Rohingya'
Mereka hanya memiliki secercah harapan untuk kembali ke Myanmar, di mana sebagian besar dari mereka ditolak kewarganegaraannya, termasuk hak-hak dasar lainnya.
Jumlah pendatang meningkat lebih dari dua kali lipat dari prediksi pemerintah pada awal September ini, meski Bangladesh berulang kali menegaskan tak bisa menerima lebih banyak pengungsi Rohingya karena sumber daya semakin menipis.
“Kewaspadaan di perbatasan meningkat, namun mengelola perbatasan sepanjang 271 km (168 mil) dengan Myanmar merupakan sebuah tantangan, terutama tanpa adanya pihak keamanan dari negara lain,” ujar seorang pejabat pemerintah yang menolak disebutkan namanya.
Pejabat itu mengungkapkan banyak warga Rohingya yang putus asa dan mencari cara menyeberang ke Bangladesh.
Baca juga: 200 Etnis Rohingya Kabur dari Bangladesh Buntut Serangan Drone Maut
Pemerintah belum memutuskan apakah akan mendaftarkan mereka yang baru masuk dan tinggal di berbagai kamp pengungsian, demikian pernyataan pejabat Kemlu Bangladesh itu.
“Jika kami memutuskan untuk mendaftarkan mereka, hal itu dapat membuka pintu masuk, dan itu adalah sesuatu yang tidak dapat kami lakukan,” tuturnya.
“Namun pada saat yang sama, berapa lama kita bisa mengabaikan masalah ini? Itulah pertanyaan sebenarnya," sambungnya.
Kepala pemerintahan sementara Bangladesh sekaligus peraih Hadiah Nobel Perdamaian, Muhammad Yunus, mendesak agar pemerintah mempercepat proses pemindahan pengungsi Rohingya ke negara ketiga sebagai solusi jangka panjang, namun pejabat Kemlu Bangladesh tersebut mengakui progres pemindahan itu masih terbatas.
“Sekitar 2.000 pengungsi Rohingya telah menjalani program pemukiman kembali sejak dilanjutkan pada 2022 setelah jeda selama 12 tahun,” ujarnya seraya menambahkan Amerika Serikat (AS), Kanada, Australia, Selandia Baru, dan Irlandia termasuk di antara negara-negara yang menerima para pengungsi.
Sumber: Reuters
- Penulis :
- Khalied Malvino