
Pantau - Pemerintah Indonesia tengah menghadapi ujian diplomasi ekonomi setelah kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) dinilai mengancam sektor ekspor nasional, terutama industri garmen, alas kaki, peralatan listrik, dan minyak nabati.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor Indonesia ke AS mencapai 4,68 miliar dolar AS selama Januari–Februari 2025, dengan surplus perdagangan sebesar 3,14 miliar dolar AS. Namun jika tarif 32 persen diberlakukan penuh setelah masa penangguhan 90 hari, industri padat karya seperti tekstil (3,98 juta pekerja) dan furnitur (962.000 pekerja) terancam mengalami penurunan permintaan dan gelombang PHK.
Berbeda dari sikap keras China dan Uni Eropa, Indonesia memilih jalur diplomasi. Pada 16 April 2025, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto memimpin delegasi RI ke Washington D.C. untuk merundingkan solusi dengan USTR dan otoritas perdagangan AS. Fokus negosiasi mencakup kerja sama energi, perluasan akses pasar ekspor, deregulasi, dan pembangunan rantai pasok strategis.
Dalam waktu 60 hari, Indonesia dan AS sepakat menyusun roadmap kerja sama dan menandatangani non-disclosure agreement. Meski strategi membuka keran impor dari AS menuai kritik karena bisa memperlebar defisit transaksi berjalan, pemerintah menegaskan tetap mengutamakan perlindungan industri dalam negeri.
Para ekonom mendorong pemerintah mempercepat diversifikasi pasar ekspor ke negara-negara BRICS dan memanfaatkan perjanjian dagang regional untuk mengurangi ketergantungan pada pasar AS. Diplomasi ekonomi akan menjadi penentu apakah Indonesia mampu menjaga kedaulatan ekonominya tanpa terseret konflik dagang global.
- Penulis :
- Gian Barani