
Pantau - Puasa tidak hanya menahan diri dari lapar dan dahaga, namun esensi sebenarnya dari puasa ialah menahan diri dari segala dorongan hawa nafsu, misalnya nafsu dalam membicarakan keburukan orang lain, mengumpat, berbohong, dan bahkan menggunjing orang lain.
Membicarakan keburukan orang lain merupakan perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT. Bukan hanya saat berpuasa Ramadan, membicarakan keburukan orang lain seharusnya tidak boleh dilakukan karena akan mendapat dosa. Namun, seringkali ditemui masih banyak orang di sekitar yang suka bergosip meski sedang menjalani ibadah puasa.
Membicarakan keburukan orang lain atau bergosip merupakan hal yang dapat menjerumuskan siapapun terhadap bahaya lisan tanpa memandang status sosial dan latar belakang. Dalam redaksi hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari, Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ، وَالْعَمَلَ بِهِ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
Artinya,
“Barangsiapa tidak meninggalkan ucapan dan perilaku kotor, maka tidak ada kepentingan bagi Allah atas amalnya meninggalkan makanan atau minuman.” (HR Al-Bukhari).
Dilansir dari NU Online, Selasa (04/04/2023), menurut ulama pakar hadist kenamaan Syekh Ibn Hajar Al-Asqalani menjelaskan maksud dari “ucapan kotor” dalam hadist tersebut. Ia menerangkan bahwa “ucapan kotor” maksudnya adalah menggunjing orang lain (ghibah).
Kemudian, bagaimana hukumnya menggosip di media sosial? Baik dengan cara mengunggah yang mengandung kata yang tidak baik, memberikan komentar kebencian, dan bahkan mengumpat di unggahan orang lain? Apakah puasanya tetap sah dan mendapatkan pahala?
Hukum menggosip, mengumpat, atau mengunggah berita hoax, serta menggunjing di media sosial dalam kondisi sedang menjalankan ibadah puasa hukumnya tetap sah, meskipun tidak memperoleh pahala ibadah puasa. Ketetapan ini disampaikan oleh Imam An-Nawawi (wafat 676 H), dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab:
فَلَوْ اغْتَابَ فِي صَوْمِهِ عَصَى وَلَمْ يَبْطُلْ صَوْمُهُ عِنْدَنَا وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَأَبُو حَنِيفَةَ وَأَحْمَدُ وَالْعُلَمَاءُ كَافَّةً إلَّا الْأَوْزَاعِيَّ فَقَالَ يَبْطُلُ الصَّوْمُ بِالْغِيبَةِ وَيَجِبُ قَضَاؤُهُ
Artinya,
“Apabila seseorang melakukan ghibah saat puasa, maka ia berdosa dan tidak batal puasanya menurut pandangan kita (mazhab Syafi’i), hal ini juga selaras dengan yang dikemukakan oleh mazhab Maliki, Hanafi dan Hanbali. Kecuali menurut pandangan Imam Al-Auza’i, menurutnya puasa batal disebabkan perbuatan ghibah dan wajib untuk diqadha.” (Muhyiddin Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab, juz VI, halaman 356).
- Penulis :
- Annisa Indri Lestari