
Pantau - Sekalipun tak mampu berbicara atau mengadu, binatang dapat merasakan sakit. Keberadaan mereka sebagai sesama makhluk hidup harus tetap dihargai.
Maka dari itu, peringatan Hari Hak Asasi Binatang yang jatuh pada 15 Oktober pun dicetuskan.
Penetapan 15 Oktober sebagai Hari Hak Asasi Binatang didasari oleh Universal Declaration on Animal Welfare (UDAW) atau 'Deklarasi Universal tentang Kesejahteraan Hewan'. Deklarasi ini merupakan sebuah kesepakatan yang mengakui bahwa hewan itu hidup dan dapat menderita.
Di samping itu, UDAW juga berusaha untuk menghormati kebutuhan akan kesejahteraan hewan serta mengakhiri kekejaman terhadap hewan untuk selamanya. Penetapan hari spesial ini tentu tak terlepas dari kenyataan bahwa perlakuan tidak bermoral serta eksploitasi masih kerap dialami sebagian besar hewan. Hal ini meliputi diternakkan secara tidak baik, pemotongan hewan secara sadis untuk bahan makanan, penyiksaan secara fisik, hingga perusakan habitat di alam liar.
Kondisi memprihatinkan ini lantas menggerakkan sejumlah aktivis untuk membela kesejahteraan para hewan. Di sinilah mereka mulai menyuarakan bahwa, sama seperti manusia, binatang juga memiliki hak asasi.
Berdasarkan laman PETA, pendukung hak asasi binatang percaya bahwa hewan memiliki sebuah nilai yang melekat, yakni nilai untuk terlepas dari pemanfaatan manusia. Mereka juga meyakini bahwa setiap makhluk yang memiliki keinginan untuk hidup berhak untuk terbebas dari rasa sakit dan penderitaan.
Apa itu Hak Asasi Binatang?
Dikutip dari laman The Humane League, hak asasi binatang adalah prinsip-prinsip moral yang didasarkan pada keyakinan bahwa hewan nonmanusia juga berhak untuk hidup sesuai keinginannya, tanpa tunduk pada keinginan manusia.
Merujuk pengertian di atas, artinya hewan tak boleh lagi digunakan untuk keperluan eksperimen;
- dibiakkan dan dibunuh untuk bahan makanan, pakaian, atau obat-obatan;
- diburu;
- dikurung dalam kebun binatang;
- ditangkap untuk keperluan hiburan (misal, sirkus); hingga
- dimanfaatkan tenaganya untuk membantu manusia (misal, membajak sawah atau sebagai kendaraan).
Argumen tersebut sejatinya bersumber pada satu alasan, yaitu rasa sakit. Hal ini seperti yang disebutkan oleh Richard Ryder dalam bukunya Painism: A Modern Morality.
Ia berpendapat bahwa zaman sekarang, rasa sakit telah menjadi tolok ukur moralitas. Maksudnya, di saat manusia tak ingin disakiti, maka hal yang sama juga berlaku bagi para binatang.
Lebih lanjut, ia juga mengatakan bahwa memasukkan hewan dalam lingkup moralitas merupakan sebuah langkah revolusioner. Untuk itu, perlu diciptakan undang-undang yang dapat melindungi dan menjamin kehidupan para hewan.
Di belahan dunia lain, terdapat undang-undang yang mengatur tentang hak asasi binatang. Yang pertama adalah Undang-Undang Kesejahteraan Hewan (Kesadaran) 2022 dari Inggris yang telah mendapatkan persetujuan kerajaan pada April 2022.
Dari laman UK Parliament, disebutkan bahwa undang-undang ini mengakui semua hewan vertebrata dan beberapa hewan invertebrata sebagai makhluk hidup (bukan objek semata yang tak dapat merasakan sakit). Ada juga Amerika Serikat dengan Animal Welfare Act atau 'Undang-Undang Kesejahteraan Hewan' yang disahkan pada 1966.
The Humane League memberitakan, undang-undang tersebut menetapkan sejumlah pedoman dasar untuk penjualan, pengangkutan, serta penanganan anjing, kucing, kelinci, primata, marmut, dan hamster. Selain itu, Animal Welfare Act juga melindungi kesejahteraan psikologis hewan yang digunakan dalam eksperimen laboratorium serta melarang praktik kekerasan adu anjing dan sabung ayam.
Akan tetapi, undang-undang tersebut tidak mengakui hak dan otonomi hewan. Di samping itu, undang-undang tersebut juga mengecualikan banyak spesies, seperti hewan ternak, dari perlindungannya.
- Penulis :
- Annisa Indri Lestari








