
Pantau - Wakil Ketua (Waketu) MPR RI mengingatkan Menteri Agama (Menag) RI untuk tidak terburu-buru mengubah aturan soal pendirian rumah ibadah.
Waketu MPR RI Hidayat Nur Wahid meminta ke Menag untuk mendahulukan dialog intensif lintas pemuka agama dan pimpinan ormas keagamaan, sebelum mengambil keputusan soal perubahan aturan.
"Urusan beragama apalagi terkait pendirian rumah ibadah memang kompleks, tidak hanya soal mayoritas dan minoritas, yang berbeda-beda di banyak kasusnya," kata Hidayat dalam keterangannya, Minggu (11/6/2023).
Pembicaraan dengan ormas keagamaan menurut Hidayat, perlu dilakukan agar apapun aturan yang dibuat benar-benar bisa menjadi solusi yang adil bagi seluruh umat beragama di Indonesia.
Terlebih, sejumlah pihak seperti MUI sudah menyatakan penolakan atas usulan Menag yang akan mengubah aturan pendirian rumah ibadah tersebut.
"Seperti di Bali, NTT, Sulut dan Papua yang mayoritasnya non muslim. Di situ ada unsur tokoh agama, forum umat beragama, masyarakat, ormas keagamaan dan lainnya yang semuanya punya peran untuk harmoni kehidupan beragama melalui pendirian rumah ibadah," ucap Waketu MPR RI.
"Agar suatu kebijakan benar-benar jadi solusi yang adil dan bisa hadirkan harmoni di antara umat beragama, Menag mestinya mempertimbangkan fakta sosial keagamaan itu, juga mencermati dan merujuk pada data resmi yang dikeluarkan oleh Kemenag sendiri yang menampilkan bukti-bukti dengan angka soal tidak adanya diskriminasi dalam pendirian rumah ibadah. Hal yang sering diopinikan dan dijadikan alasan untuk perubahan aturan pendirian rumah ibadah," sambungnya.
Dirinya menjelaskan, jika latar belakang keinginan Menag untuk mengubah aturan pendirian rumah ibadah adalah aspirasi dari unsur gereja melalui Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), data kemenag jumlah gereja meningkat paling tinggi selama 3 tahun terakhir dibandingkan masjid.
"Ini menunjukkan toleransi di lapangan sudah berjalan, dan secara aturan tidak mendiskriminasi terhadap agama apa pun, termasuk dalam pendirian rumah ibadah. Agar aturan itu benar-benar bisa jadi solusi untuk memperkuat toleransi dan harmoni di antara umat beragama, dan tidak malah menghadirkan keresahan baru," jelasnya.
Selain itu, Hidayat menganggap aturan pendirian rumah ibadah yakni Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 tahun 2006 masih relevan untuk digunakan. Ia menilai pada aturan tersebut tidak ada unsur diskriminatif kepada agama mana pun, serta jelas mengedepankan musyawarah dan kesepakatan di tingkat masyarakat terkait pendirian rumah ibadah di daerah mereka.
Hidayat menuturkan, jika timbul masalah, dalam kasus-kasus tertentu, mestinya Kemenag memaksimalkan peran FKUB dan ormas-ormas keagamaan agar dapat lebih efektif bermusyawarah mencari solusi berkeadilan.
"Yang paling tahu kebutuhan pendirian rumah ibadah di tingkat lokal dan paling mengharapkan adanya harmoni dan ukhuwah serta toleransi, adalah masyarakat di sekitar lokasi akan didirikannya rumah ibadah tersebut. PBM No. 8 dan 9 tahun 2006 jelas mengaitkan pendirian rumah ibadah dengan kebutuhan dan dukungan masyarakat setempat, agar rumah ibadah yang dibangun dapat menghadirkan kerukunan dan ketenteraman di antara warga," tuturnya.
Waketu MPR RI Hidayat Nur Wahid meminta ke Menag untuk mendahulukan dialog intensif lintas pemuka agama dan pimpinan ormas keagamaan, sebelum mengambil keputusan soal perubahan aturan.
"Urusan beragama apalagi terkait pendirian rumah ibadah memang kompleks, tidak hanya soal mayoritas dan minoritas, yang berbeda-beda di banyak kasusnya," kata Hidayat dalam keterangannya, Minggu (11/6/2023).
Pembicaraan dengan ormas keagamaan menurut Hidayat, perlu dilakukan agar apapun aturan yang dibuat benar-benar bisa menjadi solusi yang adil bagi seluruh umat beragama di Indonesia.
Terlebih, sejumlah pihak seperti MUI sudah menyatakan penolakan atas usulan Menag yang akan mengubah aturan pendirian rumah ibadah tersebut.
"Seperti di Bali, NTT, Sulut dan Papua yang mayoritasnya non muslim. Di situ ada unsur tokoh agama, forum umat beragama, masyarakat, ormas keagamaan dan lainnya yang semuanya punya peran untuk harmoni kehidupan beragama melalui pendirian rumah ibadah," ucap Waketu MPR RI.
"Agar suatu kebijakan benar-benar jadi solusi yang adil dan bisa hadirkan harmoni di antara umat beragama, Menag mestinya mempertimbangkan fakta sosial keagamaan itu, juga mencermati dan merujuk pada data resmi yang dikeluarkan oleh Kemenag sendiri yang menampilkan bukti-bukti dengan angka soal tidak adanya diskriminasi dalam pendirian rumah ibadah. Hal yang sering diopinikan dan dijadikan alasan untuk perubahan aturan pendirian rumah ibadah," sambungnya.
Dirinya menjelaskan, jika latar belakang keinginan Menag untuk mengubah aturan pendirian rumah ibadah adalah aspirasi dari unsur gereja melalui Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), data kemenag jumlah gereja meningkat paling tinggi selama 3 tahun terakhir dibandingkan masjid.
"Ini menunjukkan toleransi di lapangan sudah berjalan, dan secara aturan tidak mendiskriminasi terhadap agama apa pun, termasuk dalam pendirian rumah ibadah. Agar aturan itu benar-benar bisa jadi solusi untuk memperkuat toleransi dan harmoni di antara umat beragama, dan tidak malah menghadirkan keresahan baru," jelasnya.
Selain itu, Hidayat menganggap aturan pendirian rumah ibadah yakni Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 tahun 2006 masih relevan untuk digunakan. Ia menilai pada aturan tersebut tidak ada unsur diskriminatif kepada agama mana pun, serta jelas mengedepankan musyawarah dan kesepakatan di tingkat masyarakat terkait pendirian rumah ibadah di daerah mereka.
Hidayat menuturkan, jika timbul masalah, dalam kasus-kasus tertentu, mestinya Kemenag memaksimalkan peran FKUB dan ormas-ormas keagamaan agar dapat lebih efektif bermusyawarah mencari solusi berkeadilan.
"Yang paling tahu kebutuhan pendirian rumah ibadah di tingkat lokal dan paling mengharapkan adanya harmoni dan ukhuwah serta toleransi, adalah masyarakat di sekitar lokasi akan didirikannya rumah ibadah tersebut. PBM No. 8 dan 9 tahun 2006 jelas mengaitkan pendirian rumah ibadah dengan kebutuhan dan dukungan masyarakat setempat, agar rumah ibadah yang dibangun dapat menghadirkan kerukunan dan ketenteraman di antara warga," tuturnya.
- Penulis :
- Sofian Faiq