HOME  ⁄  Nasional

Sejarah Berhaji Orang Indonesia (Bagian Kedua)

Oleh Aditya Andreas
SHARE   :

Sejarah Berhaji Orang Indonesia (Bagian Kedua)
Pantau - Ibadah haji merupakan salah satu dari rukun Islam kelima, perjalanan menuju tanah suci menjadi suatu ibadah sakral yang sangat diidamkan seluruh umat Islam di dunia.

Sejarah perjalanan haji di Indonesia sudah berawal sejak zaman kolonial Belanda dengan menggunakan kapal laut, hingga akhirnya perjalanan haji menggunakan jalur udara pada tahun 1953.

Berikut ulasan lanjutan mengenai sejarah ibadah haji umat Islam di Indonesia bagian kedua:

Haji di masa awal Orde Baru


Pada masa awal Orde Baru, penyelenggaraan haji sepenuhnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan sepenuhnya oleh pemerintah, mulai dari tingkat pusat sampai tingkat daerah seluruh Indonesia.

Perubahan kebijakan dimulai di masa Menteri Agama KH Moh. Dachlan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1969 dan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 1969 yang mengatur penyelenggaraan haji sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah.

Pemerintah berupaya meyakinkan masyarakat agar bisa menerima kebijakan 'monopoli' penyelenggaraan haji oleh pemerintah untuk kepentingan jemaah haji dan meminimalisir masalah pelayanan haji yang sering muncul.

Kebijakan menghentikan penyelenggaraan haji oleh organisasi atau pihak swasta dikritik oleh sejumlah tokoh umat Islam karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945 mengenai kebebasan beragama dan beribadah.'

Kementerian Agama melakukan restrukturisasi organisasi yang menangani urusan haji dengan membentuk Direktorat Jenderal Urusan Haji.

Sebelumnya, Direktorat Jenderal Urusan Haji pernah digabung dengan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan kemudian dipisah kembali menjadi Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah hingga saat ini.

Kebijakan Menteri Agama soal Haji


Pada masa Menteri Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara (1978-1983) mengeluarkan kebijakan untuk membangun asrama haji yang representatif.

Asrama Haji Pondok Gede di Jakarta Timur merupakan asrama haji yang pertama kali dibangun pemerintah di tahun 1978 atas izin dari Presiden Soeharto.

Selanjutnya, Menteri Agama Tarmizi Taher (1993-1998) membuat kebijakan strategis dengan pengembangan Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) dan membentuk Dana Abadi Umat (DAU) untuk efisiensi biaya penyelenggaraan ibadah haji.

Pada masa Presiden B.J. Habibie dan Menteri Agama Malik Fadjar, lahir UU Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji yang kini telah diganti dengan UU Nomor 13 Tahun 2008.

Dalam UU tersebut menegaskan, penyelenggaraan ibadah haji adalah rangkaian kegiatan pengelolaan pelaksanaan ibadah haji yang meliputi pembinaan, pelayanan, dan perlindungan jemaah haji.

Kementerian Agama terus melakukan inovasi pelayanan haji untuk mewujudkan kenyamanan para jemaah di tanah suci. Survei indeks kepuasan jemaah haji oleh Badan Pusat Statistik (BPS) setiap tahun meningkat sejalan dengan inovasi pelayanan haji yang dilakukan Kementerian Agama.

Pada musim haji tahun 1443 H/2022 M, indeks kepuasan jemaah haji Indonesia mencapai angka 90,45 atau masuk kategori sangat memuaskan.

Masalah antrean jemaah haji


Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia memberangkatkan jemaah haji dalam jumlah terbesar dibanding dengan negara lain.

Kementerian Agama membagi kuota jemaah haji secara proporsional, antara jemaah haji reguler dan jemaah haji khusus yang diselenggarakan oleh pihak swasta. Namun, tetap dalam satu sistem pendaftaran haji.

Pendaftaran calon jemaah haji Indonesia dibuka setiap hari sepanjang tahun. Namun, jumlah jemaah haji setiap negara dibatasi kuota yang ditetapkan pemerintah Kerajaan Arab Saudi, sesuai kapasitas tempat pelaksanaan ibadah haji.

Daftar tunggu atau antrean keberangkatan calon jemaah haji Indonesia hingga puluhan tahun, menjadi tantangan tersendiri yang belum terpecahkan.

Sejak beberapa tahun terakhir, Arab Saudi telah melakukan perluasan area Masjidil Haram, Muzdalifah, dan Mina supaya bisa menampung sekitar dua setengah juta jemaah haji. Hal ini diharapkan dapat memangkas antrean jemaah yang sangat panjang.

Pelayanan dan kenyamanan di tanah suci menjadi sangat penting. Namun, hal itu bukanlah menjadi tujuan datang ke Mekkah karena sejatinya umat Islam ke tanah suci hanya untuk ibadah.

Para pembimbing dan petugas haji perlu terus mengingatkan jemaah untuk memahami hakikat ibadah haji sebagai panggilan suci dan harus didasari dengan niat yang suci pula agar memperoleh haji mabrur.

 

Sumber: Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama Kemenag, Muhammad Fuad Nasar.
Penulis :
Aditya Andreas

Terpopuler